Srek!
"Pagi, tukang tidur."
Margareth mengerang. Keningnya berkerut ketika merasakan sinar matahari dari gorden yang telah dibuka oleh Florence.
"Flo, tutup geura," katanya tanpa membuka mata, lalu memutar badan menghadap tembok.
"Tukang tidur emang lu," kata Florence. "Udah jam sebelas ini! Lu pulang sejam lagi, kan?"
Seketika itu mata Margareth terbuka lebar. Buru-buru dia duduk.
"Belum beres-beres gua!" serunya.
"Nah, kan," kata Florence. "Susah banget dibangunin dari tadi. Padahal lu tepar udah dari sore, sampai nggak mandi gitu."
Margareth melongo. Selama itukah dia tertidur?
"Bau kecut lagi badan lu," kata Florence sambil mengernyitkan hidung.
"Iya, Emak, maaf," kata Margareth, lalu berdiri dan melepas jas almamaternya yang dia pakai tidur. Setelah mengambil baju ganti, dia berjalan menuju kamar mandi.
"Jangan lama-lama. Gua juga mau pakai," kata Florence.
"Iya, Emak," kata Margareth tanpa menoleh dan berhenti. Dia berkutat di dalam selama lima menit lalu keluar dengan rambut basah. Setelah Margareth berjalan menuju tempat tidurnya, Florence bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi dengan tergesa-gesa.
"Kebelet?" tanya Margareth.
"Menurut lu aja gimana," kata Florence yang sudah berada di dalam kamar mandi, lalu membanting pintu hingga tertutup.
Margareth menggeleng-geleng, lalu mulai membereskan barang bawaannya. Sejenak dia mengeringkan rambutnya, lalu menyampirkan handuk di kursi belajarnya. Sebagian barang di meja belajarnya dirapikan dan dimasukkan ke dalam ranselnya. Setelah itu, dia berjalan ke arah lemari dan berjongkok, mengambil buntelan berisi baju-baju kotornya. Dimasukkannya juga ke dalam ranselnya.
"Ck, nggak cukup," rutuknya pelan. Terpaksa dia membongkar seluruh barangnya dan menyusunnya kembali. Sempat matanya melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas jendela.
"Hah? Dua belas kurang seperempat?" Buru-buru Margareth menyusun barang-barangnya. Rupanya masih tidak cukup. Dia menekan-nekan barang paling atas sambil menutup ritsletingnya. Setelah itu, dia kembali ke lemarinya yang tidak tertutup dan merogoh-rogoh kaus kakinya. Ketika dia sedang memasangkannya, terdengar suara pintu kamar mandi dibuka.
"Ribut ya gua perhatiin," terdengar suara Florence.
"Bentar lagi harus di bawah gua," kata Margareth dengan tangan yang tetap sibuk dengan kaus kakinya.
"Pasti Goldie yang jemput," kata Florence. Suaranya terdengar menjauh dari belakangnya.
"Iya, ngomel-ngomel lagi nanti dia," kata Margareth, lalu berdiri. Detik berikutnya dia mengerang. Kaki kirinya terasa nyeri. Sepertinya dia tak sengaja berdiri dengan bertumpu pada kakinya yang cedera itu.
"Kan, barbar sih lu," kata Florence.
"Komentar bae lu kayak komentator bola," protes Margareth, lalu berjalan dengan sedikit terpincang-pincang menuju tempat sepatunya terletak: kolong tempat tidurnya.
"Lu bakal cerita nggak ke Goldie?" tanya Florence sambil berjalan ke depan cermin.
"Soal?" tanya Margareth sambil mengulurkan tangan, hendak mengambil sepatu.
"Ya Kak Ravel, lah. Apa lagi?"
"Mungkin, nggak tau," kata Margareth, lalu menarik keluar sepatunya. "Gua cerita sedikit doang paling." Tangannya mulai berusaha memasukkan kakinya ke dalam sepatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAP
RomancePertemuan Margareth dengan Ravel, sang wakil ketua UKM Musik membawanya kepada hal-hal yang tak diduga, tepatnya setelah kecelakaan maut itu terjadi dan merenggut memori Ravel selamanya. Hal ini membuat hubungannya dengan Alan, seorang siswa dari SM...