tujuh

6 0 0
                                    

"Dengan ini, materi perkuliahan kita selesai. Kalian boleh membubarkan diri," kata dosen pengampu.

Margareth merapikan jas almamaternya lalu berdiri. Setelah mengambil buku-bukunya yang tergeletak di atas meja, dia melangkah ke arah ruang sekretariat UKM Musik dengan tergesa-gesa. Nyaris saja dia menabrak sekelompok kakak tingkat yang tengah tertawa sambil berjalan karenanya.

"Margareth! Lihat-lihat kalau jalan!" seru salah seorang di antaranya.

"Maaf, Kak!" seru Margareth, lalu kembali melangkah cepat.

Sesampainya di depan ruangan itu, dia membuka pintu dan mendapati Sierren dan beberapa kakak tingkatnya telah berkumpul.

"Maaf telat!" katanya dengan napas terengah-engah.

"Santai aja kenapa, Gi. Ini kita cuma ngobrol-ngobrol aja," kata Aurel, lalu memutar kursi rodanya menghadap Margareth. "Halo, Maggie. Senang lihat lu baik-baik aja."

"Halo, Kak. Sama," kata Margareth sambil melangkah mendekat. Semenjak kecelakaan maut itu, anak-anak UKM Musik belum mendapat kesempatan lagi untuk berkumpul bersama di ruang sekretariat. Karena itulah Margareth sangat menantikan kesempatan ini.

"Gua lihat lu habis lari-lari, ya," kata Aurel. "Berarti kaki lu udah membaik, dong?"

"Udah, Kak," kata Margareth, sedikit merasa tak enak ketika melihat kondisi Aurel. "Agak lama sih pulihnya."

"Lu juga sementara kan di kursi roda?" tanya Sierren.

"Untungnya iya," jawab Aurel. "Bisa-bisa kehilangan drummer band gua nanti."

"Drummer kan banyak, Rel, nggak cuma lu doang," kata Hagi yang tergabung dalam band yang sama dengan Aurel.

"Makasih, gua didepak kan berarti?" kata Aurel sambil tersenyum 'manis'.

"Nggak ada yang bilang lu didepak, sih," kata Hagi, lalu menoleh pada Margareth. "Udah dengar kabar saviour lu belum, Gi?"

"Udah, Kak," kata Margareth, lalu menatap Sierren, memberikan isyarat untuk tak mengatakan apapun tentang kondisi Ravel. "Aku taunya dari Kak Sierren."

"Lah, kenapa lu nggak ngomong-ngomong ke kita?" protes salah satu anak pada Sierren.

"Ini baru gua mau ngomong," kata Sierren, sedikit memberikan senyum menenangkan pada Margareth. "Dia udah bangun dari komanya, tapi ada bagian dari otaknya yang rusak parah. Jadinya...yah, nanti kalian bisa lihat."

"Kenapa lu nggak cerita?" tanya Hagi.

"Rumit," jawab Sierren singkat.

Diam-diam Margareth tersenyum lega. Dia tau, cepat atau lambat kondisi Ravel akan diketahui seluruh penghuni kampus. Tetapi tak mengatakan apapun untuk sekarang sudah cukup menghilangkan sedikit beban dari bahunya. Setidaknya untuk sementara.

"Reynard bilang minggu depan dia udah bisa masuk," lanjut Sierren. "Lama juga dia nggak masuk, sampai sebulan lebih. Semoga dia masih ingat gimana caranya nyanyi."

"Semoga," kata Aurel. "Berkurang satu nanti vokalis andalan kita."

"Ah, ada penggantinya," kata seorang anak laki-laki sambil menepuk bahu Margareth, membuatnya menoleh dengan terkejut. "Dia bisa nyanyi, kan? Nanti kalau kurang jadiin dia vokalis aja." Dia menoleh sekilas pada Margareth

"Duh, aku nggak bakat jadi front man, Kak," kata Margareth salah tingkah.

"Nanti juga kebiasa, kok," kata laki-laki itu. "Nanti bakal diajarin sama kakak-kakak berpengalaman ini. Terutama Kak Sierren, nih. Jago banget dia soal manggung. Ya nggak, Ren?" Dia menatap Sierren dengan pandangan jahil.

GAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang