delapan

4 0 0
                                    

Margareth tak tau apa yang harus diperbuatnya. Yang dia lakukan hanya berdiri diam menatap Ravel tanpa berkedip. Wajahnya datar, sebagai hasil dari usahanya mengesampingkan perasaan takut dan jantung yang entah mengapa berpacu cepat.

"Kenapa muka kamu kayak gitu?" kata Ravel. Senyumnya menghilang. "Aku ada salah?"

Ingin Margareth menjerit keras-keras kalau semua ini salah. Kalau dia bukanlah miliknya. Tetapi lidahnya seolah menjadi kaku, membuatnya tak bisa untuk mengeluarkan bisikan sepelan apapun. Karena itu, Margareth hanya menggeleng.

"Terus kenapa kamu di sini, dong?" tanya Ravel lagi. "Lihatin aku-nya gitu amat."

"Uh, kukira Kak Ravel yang mau ngomong sesuatu," kata Margareth pelan setelah memaksa diri untuk membuka mulut.

"Nggak, aku cuma mau senyumin kamu," kata Ravel, kembali tersenyum. Margareth meleleh seketika. "Nggak boleh aku senyumin cewekku sendiri?" Tangannya terangkat, hendak membelai kepala Margareth.

"Ma-maaf, Kak, aku ada kelas habis ini." Buru-buru Margareth menghindar dan melangkah menjauhi Ravel ke arah kelasnya. "I-ini udah agak telat. Aku...aku duluan ya, Kak." Margareth melempar senyum canggung lalu berlari secepat kaki kirinya mengizinkan. Kini perasaan ngeri menguasainya. Dia tak menyangka laki-laki itu bisa menjelma menjadi selembut ini. Sebenarnya tidak mengherankan karena perilakunya di sekitar teman-temannya kurang lebih sama seperti ini. Hanya saja, Margareth tak menyangka tangan Ravel akan bergerak ke arah kepalanya.

Semanis itukah dia ketika menjadi pacar seseorang?

"Astaga, gua mikir apa, sih?" gumam Margareth pada dirinya sendiri. Dia berhenti berlari ketika pintu kelasnya sudah terlihat olehnya. Napasnya terengah-engah. Diputuskannya untuk berjalan.

Sesampainya di depan pintu, Margareth membukanya dan disambut oleh pandangan dosen dan teman-temannya.

"Maaf saya telat, Pak," katanya sedikit lesu.

"Nggak papa, temanmu tadi udah konfirmasi ke saya," kata dosen itu. "Silakan duduk, Margareth."

Margareth melangkah dengan gontai ke arah satu bangku kosong di pojok belakang, karena lelah berlari dan perlakuan Ravel yang masih terbayang-bayang dalam kepalanya. Dia menghempaskan badannya begitu saja ketika sudah sampai di dekatnya. Cassia yang melihat kelakuannya hanya dapat berkerut bingung, lalu kembali memperhatikan penjelasan dosen, memutuskan untuk tak berkata-kata.

***

"Kayaknya Kak Ravel deketin kamu terus hari ini, Gi," kata Sasha.

Margareth yang tengah minum lantas tersedak.

"Eh, eh? Kenapa kamu?" kata Sasha cemas.

"Nggak papa, cuma kesedak sedikit," kata Margareth, lalu mengelap air yang menetes dari bibirnya. "Kaget sama kata-kata lu."

"Ada apa emang sama kata-kataku? Ada salah?"

Margareth hanya membalas dengan senyum simpul singkat.

"Jangan bilang ada sesuatu antara kalian," kata Sasha dengan pandangan penuh selidik. "Antara kamu sama Kak Ravel."

"Yah, gimana jelasinnya, ya?" kata Margareth sambil menghembuskan napas. Dalam hati dia bersyukur karena pertanyaan semacam ini baru dilontarkan kali ini, jadi dia tak merasa kewalahan menghadapinya. Mungkin nanti, ketika Ravel mulai terang-terangan menunjukkan 'hubungan' mereka.

"Gimana?" tanya Sasha.

"Emang ada urusan, cuma... rumit," kata Margareth. "Kalau gua cerita sekarang bakal selesai besok pagi."

"Singkatnya aja."

Margareth terdiam sejenak, merangkai kata-kata.

"Intinya, Kak Ravel sama gua ada persoalan khusus yang cuma ada di antara kita," katanya kemudian. "Nggak bisa gua kasih tau karena...ya itu. Rumit."

GAPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang