Cp. 11

10 1 0
                                    

Audrey menggeliat, merasa terganggu dengan cahaya yang membelai wajahnya.

Cuaca pagi ini cukup cerah. Sang mentari sudah membentangkan sinarnya, menerangi pagi hari, kususnya di Boston Manssacushett Amerika Serikat.

Cahaya yang masuk melalui celah-celah yang Ada membuat ruangan yang kini ditempati Audrey menjadi terang menderang.

Perlahan kelopak mata Audrey terbuka menyesuaikan cahaya yang ada. Sedetik kemudian perempuan itu memegangi kepalanya yang terasa sakit.

Audrey kembali terpejam, akibat rasa nyeri dikepalanya. Ia mencoba menerawang apa yang terjadi dengan dirinya, hingga sekelabat ingatan mulai muncul. Pikirnya semua itu hanyalah bunga tidur, tapi rasa sakit di leher dan juga kepalanya. Membuat ia percaya jika kejadian itu nyata adanya.

Audrey bangun dan duduk di tepi ranjang. Ia menatap sekitarnya yang nampak begitu asing, kasur yang terasa lebih nyaman, benda yang tersusun rapi pas ditempat. Semua sangat asing di mata Audrey.

Ia bahkan tidak tahu, saat ini sedang dimana.

Audrey mengayung kedua kakinya menuju pintu, yang ia yakini adalah pintu utama. Tanganya terangkat menyentuh ganggang pintu. Namun, belum sempat ia membukanya, pintu sudah terbuka lebih dahulu menampilkan pria yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggul sampai lutut tanpa atasan.

Menyadari hal tersebut, Audrey langsung berbalik, menutup matanya dengan kedua telapak tangannya.

"Siapa kamu?" Tanyanya dengan perasaan was-was

Suara decitan yang ditimbulkan oleh pintu yang ditutup, membuat Audrey menegang. Seharusnya, sedari tadi ia mesti berlari, tapi yang ia lakukan hanya diam dengan kedua tangan berada di wajahnya, dan terliahat idiot didepan orang itu.

"Sedang apa kau?" Suara tak bernada, namun mengintimidasi, membuat Audrey merutuk dengan apa yang ia perbuat. Berdiri mempermalukan diri sendiri, itu benar-benar tidak enak.

Audrey menurunkan kedua tangannya, saat kedua matanya mendapat cahaya, Audrey terlonjak, kembali dibuat  shock dengan apa yang ia lihat didepannya. Ia terus merapalkan kalimat istigfar dalam hati sambil mengusap dadanya naik turun, dan tak menghiraukan pertanya yang dilontarkan oleh pria didepannya.

"Sejak kapan kau bangun?"

"Apa kau tidak malu seperti itu…" ucap Audrey menyindir. Ia saja merasa risih, lebih tepatnya terganggu dengan apa yang terpampang didepannya.

Aidan mengernyit heran, "untuk apa?  ini rumahku! Seharusnya kau yang malu"

Audrey mendelik, akhir-akhir ini ia menjadi orang yang tak memiliki etika jika dihadapkan dengan Aidan.

"Setidaknya kau bisa sedikit mengngkat handuk itu lebih atas sampai pinggang!"

Aidan menatap handuk yang melilit di pinggulnya. Tidak ada yang salah dengan handuknya.

"Itumu hampir kelihatan. Jadi, jika kau tidak ingin mepermaluka dirimu, sebaiknya lilitannya kau taruh lebih atas lagi." Terang Audrey merasa gemas dengan Pria yang ia tahu memiliki nama Aidan Ashley Anderson. Ia mengetahui hal itu saat Aidan memperkenalkan dirinya pada klien tadi malam, dan saat itu juga Audrey merasa hidupnya selalu diberi kesulitan.

Ia harus menjadi Asisten Aidan selama pembangunan Hotel di jakarta belum selesai. Kesialannya tak ada habisnya selama Mengenal pria itu.

"Tidak masalah!kau sudah merasakannya jadi buat apa malu." Tutur Aidan santai.

Audrey yang mendengar hal itu bungkam. Layaknya seorang jalang, Audrey merasa seperti itu saat diingatkan kejadian malam dimana ia berhasil melepas status keperawanannya tanpa mengetahui apapun.

The Fate Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang