04 | Benci

195 71 58
                                    

"Hati-hati kalo benci sama orang, takutnya rasa benci lo habis di dia terus diganti sama rasa yang lain."

***

Motor Dimas akhirnya berhenti di sebuah alun-alun pinggir jalan saat hari berganti malam. Setelah menurunkan standard motor, ia menyuruh Kanaya menyebrangi jalan ke minimarket hanya karena ia malas parkir di sana dengan nada tak terbantahkan. Dasar bossy!

"Beliin cemilan gih yang banyak," katanya sambil menyerahkan uang seratus ribu.

"Segini mah mana dapet banyak?"

"Yaudah nih," laki-laki itu menyerahkan lagi uang seratus ribu. Kanaya pun menuruti Dimas.

Gadis itu sebenarnya sudah cemberut tak karuan selama ia berjalan kembali ke arah Dimas, tapi berusaha tetap santai ia serahkan kantong plastik belanjaan pada Dimas yang sedang merapikan jaket di atas motor.

"Kenapa lo gak beli sendiri aja sih?!" ujar Kanaya ketus.

"Gue 'kan sekarang punya asisten," balas Dimas membuat Kanaya makin kesal. Kalau saja ia tak ingat dosa nya, sudah habis rambut Dimas karena dijambak.

Dengan santai pemuda itu melenggang pergi, menghampiri beberapa pemuda di depan alun-alun yang makin ramai oleh orang-orang. Mereka saling bersalaman, tersenyum, dan sesekali mengejek Dimas sambil menuding gadis di belakangnya.

"Cewek lo, Bro?"

Dimas menoleh ke belakang. "Oh, bukan, tadi nemu di jalan lagi nangis-nangis diputusin mantan abis itu minta nebeng sama gue - awssh!" Tiba-tiba Dimas meringis. Mengeluh sakit di kaki yang baru saja diinjak gadis di sebelahnya.

"Gak usah sembarangan kalo ngomong," peringat Kanaya, tapi Dimas cuma cengar-cengir tanpa sebab.

"Dah ya, Bro, sampe ketemu di dalem." Dimas kemudian merangkul Kanaya, mengajaknya memasuki area alun-alun.

Kanaya menyapu pandangan. Sepertinya Dimas memang sering ke sini. Banyak sekali pemuda pemudi yang asyik bercengkrama, bernyanyi, bermain gitar, dan berguyon. Tak lepas juga dari orang-orang yang minum alkohol di sisi lainnya. Seperti pesta tapi tidak bisa disebut pesta. Meski kebanyakan orang di sana ramah, tapi rasanya tetap asing memasuki dunia Dimas yang seperti ini.

"Kenapa? Lo nggak suka ya?" tanya Dimas memastikan keadaan Kanaya. "Di sini gak semuanya seperti dugaan lo. Kita cuma suka nongkrong di sini. Banyak orang yang baru pertama kali juga ke sini tapi udah bisa adaptasi."

"Jadi ini kayak komunitas gitu?"

"Gak bisa dibilang komunitas juga sih. Ini cuma tempat untuk orang-orang yang butuh ngobrol sama manusia lain, bangun koneksi, atau cuma sekedar nongkrong biasa aja. Santai aja nanti juga lo tau." Kanaya hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dimas.

"Ambilin gue beer kaleng gih." Lagi-lagi Dimas menyuruh. Ia menuding pada meja dengan tulisan 'Minuman gratis' di sudut sana. Sementara laki-laki itu berjalan santai ke arah teman-temannya yang lain.

Sambil menggerutu, Kanaya tetap menuruti perintah Dimas. Laki-laki itu benar, Kanaya bisa melihat keakraban yang hangat di tempat ini. Sempat ia mendengar ada yang tengah curhat tentang masalah pekerjaannya, di sisi lain cerita soal masalah keluarga, dan di sisi lainnya lagi ada yang ramai-ramai bermain Uno.

"Cewek, sendirian aja?" Tiba-tiba ada yang bersiul menghampirinya saat Kanaya membuka minuman kaleng.

Kanaya memutar bola matanya malas ketika laki-laki itu mengulurkan tangannya. Bau alkohol menguar kuat dari sana. "Kenalin, gue Rino, cowok paling famous di sini."

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang