"Move on terbaik adalah dengan menyibukkan diri sendiri ke hal-hal positif."
***
Pukul 10 malam, di Bandung. Lelaki itu berdiri di depan teras rumah, guna mencari ketenangan dari udara segar yang ia hirup. Akhir-akhir ini kepalanya selalu berisik, dan hatinya berkecamuk, menciptakan badai emosi yang hampir setiap hari tak bisa ia kendalikan.
Kadang ingin menangis, tapi rasanya tak berhak untuk menangis. Kadang ingin marah, tapi ia tak menemukan alasan untuk apa dia marah. Semua itu karena kesalahannya sendiri terlalu takut pada apapun yang padahal belum tentu terjadi.
"Dor."
Suara lembut itu terdengar bersamaan dengan sebuah jari telunjuk menyentuh punggungnya. Dimas hanya tersenyum menyadari tingkah laku Kanaya yang langsung duduk di sampingnnya, sambil meletakan satu gelas kopi lalu berkata, "Buat lo."
"Tumben, bikinin kopi tanpa gue pinta?" tanya Dimas.
"Ya kan gue asisten lo," balas Kanaya
"Ya tapi tumben aja gitu, ini gak lo ludahin dulu kan?" tanya Dimas meragu sambil memutar-mutar cangkir kopinya.
"Enggak! Sumpah, gue beneran niat baik. Anggap aja permintaan maaf gue."
"Maaf buat?" Dimas menaikkan sebelah alisnya.
"Sebelumnya gue sempet curiga sama lo mau bawa gue ke tempat yang aneh dan lo niat macem-macem sama gue."
"Oh, ya elah santai. Biasa lah cewek emang pikirannya suka macem-macem duluan," kata Dimas mengibaskan tangannya. Kanaya tak membalas apapun.
Lelaki membagi tatapannya pada Kanaya dan juga pintu rumah yang dibiarkan sedikit terbuka, lalu bertanya, "abis ngobrol apa aja sama Bibi?"
"Banyak, ngomongin lo."
Dimas tersenyum, membayangkan bagaimana Bibi menceritakan tentang dirinya di masa lalu. Kanaya sampai menyadari ada sebuah pilu yang disembunyikan dari senyum Dimas.
"Seru," ujar Kanaya.
"Apanya?"
"Panti ini seru, suasana-nya, orang-orang-nya, anak-anak-nya, Dinda, Bibi, semua yang berhubungan tentang lo ... itu seru," jelas Kanaya, membuat Dimas kembali mengangkat sebelah alisnya. Mereka saling tenggelam lamunannya dalam detik. Sesaat tatapan mereka bertemu, sampai Kanaya menjadi pihak yang memutus keheningan.
"Gue mau dengar cerita tentang kota ini dari lo dong, Dimas."
"Gak ada yang spesial dari kota ini. Bagi gue Bandung cuma ... masa lalu," balas Dimas.
"Tapi justru Bandung juga yang lo cari kalau ada masalah bukan?"
Dimas tak menjawab, lelaki itu hanya mengambil cangkir di atas meja, lalu menyeruput kopi yang Kanaya buat untuknya. Di balik cangkirnya, kedua sudut bibir Dimas tersimpul segaris. Menikmati aroma kopi dan rasa dari takaran yang tepat. Tidak pahit, tapi tidak terlalu manis juga, takarannya pas, sampai Dimas mengeluarkan suara khas bapak-bapak setelah menyuruput kopi. "Ahhh."
Tadinya Dimas mau mengeluarkan batang rokok dari kotaknya yang terletak di atas meja, tapi ia ingat Kanaya masih duduk di sampingnya. Dimas mengurungkan niatnya, dan memilih untuk bersandar pada kepala kursi, menikmati angin malam yang menyapu permukaan kulitnya.
"Ini pertama kalinya gue main seharian di Bandung," ujar Kanaya tiba-tiba, membuat Dimas terkejut sendiri.
"Demi apa?"
Kanaya mengangguk.
"Memang lo gak pernah study tour ke Bandung gitu waktu Sekolah?" tanya Dimas.
"Pernah, tapi dulu 'kan perginya sama anak Sekolah, paling cuma dateng ke Museum Geologi, Boscha, Gedung Sate, Ciwidey, abis itu ketiduran selama perjalanan pulang di Bus ke Jakarta. Mana pernah gue main ke Bandung sampai lebih dari seharian gini?"
![](https://img.wattpad.com/cover/248332802-288-k322725.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DIMAYA
RomanceAwalnya mereka cuma orang asing. Tapi pertemuan aneh mereka membuat Aya harus punya urusan berkepanjangan sama Dimas. Dia harus jadi asisten nya Dimas di kantor. Ini semua gara-gara seekor anjing liar yang pagi itu ngejar-ngejar dia waktu bawa seped...