02 | Persimpangan

332 82 116
                                    

"Mencintai itu seperti aku ke kamu. Aku gak berharap kamu bisa membalas perasaan aku, yang penting kamu menjadi orang yang aku kasihi setiap hari."

***

"Eh, mau kemana lo?!"

"Mau nyari tukang es cendol dulu, gue haus!"

"Gak bisa. Lo harus tanggung jawab dulu sama kamera gue."

"Beli baru aja kenapa sih?!" Gadis itu hendak melanjutkan langkahnya, tapi Dimas bersikeras menarik tangannya.

"Yang penting itu bukan kameranya, tapi foto-foto yang ada di dalem kameranya."

"Ck, emang apa sih isinya?"

"Lebih penting dari hidup lo."

Perdebatan itu terus berlanjut. Dimas mau gadis itu tanggung jawab. Sebenarnya tidak ada yang bisa dilakukan lagi untuk kamera yang sudah hanya sisa kenangan itu. Gadis itu menyipitkan matanya, meneliti Dimas dari atas hingga ke bawah.

"Heran deh, kenapa manusia kasar kayak lo bisa mirip banget sama Andika?"

"Siapa sih Andika-andika itu? dari tadi lo nyebut gue Andika. Gue nih Adimas, bukan Andika."

"Ck, yaudah terus gue harus gimana?"

Dimas bingung. Gak mungkin juga kalau ia minta uang untuk ganti rugi. Uang nya pasti lebih banyak dari gadis itu. Lihat saja tampilannya. Baju putih dengan outer kodok seperti gadis culun dari desa bahkan sudah berantakan karena kejadian tadi. Rambutnya juga sudah berantakan, kuncirannya lepas entah kemana. Jadi mirip seperti mi ayam tumpah.

"KTP."

"Hah?"

"KTP lo, sebagai jaminan, kalau lo gak mau tanggung jawab."

"Apa yang harus gue ganti rugi sih? Kamera? Sebutin aja berapa, gue ganti."

"Udah gue bilang kalau - "

"Duh, damai aja deh ya, plis, gue gak mau telibat lebih jauh sama orang asing aneh kayak lo."

"Lo yang aneh."

Gadis itu mendekus kasar. Lelah berdebat dengan Dimas. Ia hanya ingin pulang, sambil menangisi sisa bunga-bunga pesanan yang tak bisa ia antarkan. Sepedanya saja hancur seperti itu. "Lo mau apain KTP gue emangnya?"

"Gue butuh data diri lo, nomor handphone dan alamat rumah lo."

"Sekalian aja ukuran sepatu gue nih. Udah mangap tuh lo liat?" Gadis itu menunjukkan sepatunya yang lapar, dekil, dan mungkin sudah tak layak pakai.

"Udah cepet. Mana sini KTP lo."

"Yaudah tapi biarin gue pulang dulu. Gue ada urusan."

Tak punya pilihan lain, akhirnya gadis itu menyerah. Dengan pasrah ia serahkan kartu tanda penduduknya sambil mengerucutkan bibir. Gadis itu juga sempat memberikan nomor handphonenya. Dalam hati ia yakini kalau laki-laki ini pasti hanya ingin memeras dirinya.

"Gue balikin KTP lo malam ini. Asal nanti malem dateng ke tempat janjian, gue hubungin lo nanti."

"Malem ini gak bisa, dibilang gue ada urusan."

"Yaudah KTP lo juga gak aman berarti."

Sebenarnya bisa saja ia berteriak minta tolong, lalu menyebut laki-laki ini orang asing yang mengancam dirinya. Namun keadaan mereka justru bertentangan. Kondisi Dimas lebih mengenaskan. Orang mungkin lebih percaya kalau dirinya baru saja memukuli laki-laki itu.

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang