05 | Yang Terbaik

176 58 39
                                    

"Aku pernah hilaf, karena jatuh cinta sama kamu."

***

Dimas tersenyum puas setelah melihat hasil kerja anak magang yang membuat hari liburnya bisa bebas sedikit. Kenapa gak dari dulu saja ya punya asisten kayak gini? Pikir Dimas.

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada sofa, sambil sesekali melihat kaca jendela yang menawarkan pemandangan kota Jakarta. Warna putih cat dinding mengelilingi, dengan sentuhan ornament berwarna emas yang membuat ruangan itu terlihat elegan. Manekin-manekin di sana dibalut dengan gaun pengantin serba putih menggambarkan gaya pengantin. Lelaki itu berada di sebuah butik.

"Dimas, menurut lo gimana?" suara itu mengalihkan perhatian Dimas. Ia lihat Salma, sahabatnya, sudah mengenakan gaun pengantin yang baru saja di fitting ulang dengan alasan naik berat badan.

Salma memutar tubuhnya, menunjukkan kesan anggun dari gaun yang ia kenakan sampai membuat Dimas tercenung sesaat. Yah, gaun itu dipakai bukan untuk dirinya di atas pelaminan kelak. Dimas sadar itu makanya Dimas menerbitkan senyum segaris. Rasa pahitnya hanya Dimas yang tahu.

"Foto yuk!" ajak Salma tanpa melepas tatapannya dari cermin.

"Gak ah."

"Ayo dong, Dim. Besok-besok mana bisa lo foto berduaan doang sama gue lagi?" kata Salma setengah memaksa, lengkap dengan nada khasnya meminta.

Pernyataan itu mungkin sepele. Namun cukup untuk menggores hati Dimas. Kalau ditanya kenapa Salma tidak pergi bersama calon suaminya? Jawabannya adalah Mas Rizky terlalu sibuk berperan sebagai konsultan terkenal di Jakarta. Bekerja di perusahaan konsultan memang menyita waktu. Untuk persiapan pernikahan seperti ini saja Salma sampai meminta Dimas sekedar menemaninya saja. Bisa Dimas lihat lewat ekor matanya, pegawai butik tengah berbisik-bisik dengan senyuman. Mungkin menggosipkan mereka.

Lagipula, mereka yang di sini kalau calon suaminya Salma itu bukan dirinya. Ah lagipula Salma tidak mungkin memposting foto barusan di sosial media atau menunjukkannya ke teman-temannya, hanya disimpan dalam sudut memorinya yang paling rapih.

"Sorry ya, Sal, soal foto prewedd lo."

"Harusnya gue gak sih yang minta maaf, sering banget ngerepotin lo, Dim."

"Yaudahlah, anggap aja ini buat bayar kesalahan gue kemarin."

Salma menghela napasnya. "Yah, biarpun hasil foto prewedd gue bukan dari karya lo, tapi kalau soal lo selalu punya tempat sendiri di hidup gue kok," katanya sebelum menerbitkan senyum.

"Sal ... "

"Ya?"

"Makasih banyak udah mau nerima gue sebagai sahabat lo ya."

"Apa sih? Kok hari ini kita jadi banyak bilang maaf sama terima kasih ya, biasanya gak gini deh," kata Salma. Gadis itu sesekali menyeka air matanya yang tiba-tiba turun membasahi pipi.

"Ke depannya mungkin kita udah beda ya, Sal. Lo sama hidup lo yang baru dan gue sama hidup gue yang masih belum bisa gue tebak ke mana arahnya."

"Find your happiness, Dimas. Gue yakin lo bisa lebih bahagia dari yang sekarang kok."

"Bisa nemenin lo sampe ke jenjang hidup yang baru juga udah bikin gue bahagia kok. Gue bahagiaaa banget bisa liat temen gue udah bisa nemuin jalan hidupnya yang baru. Gue seneng pernah jadi sahabat lo."

"Ini bukan perpisahan. Dimas. Sampai kapan pun lo tetep jadi sahabat gue."

Dimas menatap Salma. Mata mereka bertemu. Mata mereka sering bertemu, tangan mereka sering saling menggenggam, raga mereka selalu ada saat saling membutuhkan. Namun kenapa hati mereka tak sedetik pun saling bertaut? Hal yang paling Dimas sesali adalah ia tak pernah menyampaikan sedikit pun apa yang ia rasakan. Walau hanya setitik saja, perasaannya tak pernah tersampaikan. Sampai wanita yang ia cintai itu menemukan tambatan hatinya untuk diajak berjanji seumur hidup.

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang