06 | Bandung dan Rindu

166 57 57
                                    

"Bandung ikut merindu hadirmu, katanya?"

***

"Hhhhh, revisi teross!"

Entah berapa kali pemuda itu menghela napas berat. Berjam-jam duduk menghadap layar monitor membuat dirinya jenuh sendiri. Belum lagi permintaan revisi tentang desain company profile yang sudah satu minggu lebih ia kerjakan belum juga usai. Laki-laki itu sampai menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. "Nih klien maunya apa sih?!"

Tak lama kemudian, seseorang membuka pintu ruangan, lantas mengeluarkan ekspresi kaget ketika menemui wajah rambut Dimas yang berantakan layaknya mi ayam tumpah. "Astagfirullah, saha ieu?" ujar Ridho, yang dibalas Dimas dengan tatapan malas.

"Ternyata gini ya kerja yang bukan passion gue."

"Toh baru satu project desain compro aja udah kewalahan gini lo."

"Ya gue kesel aja, Do. Nih klien gak punya konsep apa-apa, asset juga sulit tapi mintanya elit. Udah gue bikinin tema juga masih aja gak masuk di dia. Gak sesuai briefing awal. Maunya apa sih?!"

"Sabar, nanti juga dapet project motret lagi – eh, itu bibir lo kenapa dah?" tanya Ridho baru menyadari bekas luka di wajah Dimas yang masih terlihat.

"Biasa, jatoh."

"Alah, paling tauran lagi kan lo?"

Dimas hanya memutar bola matanya malas. Nah, kan. Orang-orang yang sudah kenal Dimas sejak SMA pasti selalu menuduhnya tauran kalau wajahnya kenapa-kenapa.

"Ngapain sih lo masih tauran-tauran gitu? marah lo? kecewa? ditinggal nikah sama Salma?"

"Engga anjir, sumpah demi apapun gue gak tauran!"

"Terus kenapa tuh bibir robek gitu? dicium anjing?"

"Berantem," jawab Dimas santai sambil lalu menuju pantry mengambil gelas.

"Nah, kan. Kalo gak tauran berantem." Ridho masih saja mengomel seperti seorang kakak, membuat Dimas berdesis.

"Gue bukan berantem tanpa alasan. Udah deh, ribet kalo dijelasin."

"Gara-gara cewek?" tebakan Ridho membuat Dimas menghentikan gerakannya. Tidak sepenuhnya benar, tapi tidak salah juga. Jadi Dimas hanya mengangkat bahunya.

Ridho berdecak. "Daripada lo berantem gak jelas gara-gara urusan sepele. Mending lo ikut ini deh."

Dimas melirik layar handphone Ridho. Sebuah banner digital merebut penuh perhatiannya sampai Dimas menyambar layar gawai dari tangan temannya, sampai-sampai lelaki itu menautkan kedua alisnya serius membaca.

"Kontes fotografi?"

"Exactly, di Bandung!"

Dimas mengangkat sebelah bibirnya. "Gitu kek lo jadi temen!" Saking senangnya, Dimas sampai melempar handphone Ridho ke sofa, kemudian berlari menuju layar komputer. Jemarinya bergerak lincah mengetik data diri dan memasukan beberapa portfolionya.

"Ikut kan lo ke Bandung?"

"Ups, sorry, Dim, tanggal segitu gue ada acara."

"Yah." Dimas mendesah kecewa, tapi hal itu membuat Ridho menyeringai.

"Gue denger dari Dea, lo sekarang punya asisten. Ajak aja dia."

Dimas melirik temannya yang menerbitkan senyum licik sambil beberapa kali mengangkat kedua alisnya. Seolah Ridho bilang 'hebat kan gue?'

***

Kanaya tak habis pikir. Membagi waktu kuliah dengan magang seperti sekarang ternyata memang menguras tenaga. Padahal belum pertengahan semester, tapi sibuknya sudah tak karuan. Pagi harus masuk kantor, siangnya ikut kelas kuliah, sorenya selesaikan tugas, malamnya lembur menyunting beberapa konten untuk project company profile yang sama dengan Dimas. Dua minggu berlalu tapi project itu masih harus di revisi juga. Seperti orang yang dikejar cicilan bulanan!

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang