09 | Memenuhi Undangan

144 55 37
                                    

"Wahai hati, maaf kalau mungkin hak suara tak tersampaikan pada matahari, tapi percayalah, suaramu begitu berharga untuk mengambil keputusan lain di masa mendatang."

***

Karena tak ada kelas yang harus dihadiri di kampus, seharian ini Kanaya berada di kantor, Enaknya bekerja di agensi seperti ini adalah jam kerja yang fleksibel, tak harus berada di kantor, yang penting pekerjaan selesai. Sudah hampir 2 bulan ia bekerja sebagai anak magang di sini, tentunya tak menutup kemungkinan ia bisa mendengar budaya di kantor ini. Ia juga sempat mendengar keluhan seperti 'jarum infus nusuk di tangan, gak ngaruh' atau 'selama kaki dan tangan belum patah, kita masih wajib masuk kantor hahaha' atau yang lebih ekstrim 'agensi mah liburnya kalau hari kiamat doang' dan itu nyata adanya.

Siapa yang bilang kalau Sabtu dan Minggu ia bisa berleha-leha di kasur, menikmati waktu luang dan pergi bersama teman-teman ke shopping mall? Tentu tidak. Pekerjaan sudah hampir mendarah daging dalam tubuh gadis itu, belum lagi tentang budaya kantor yang tak asing lagi di telinganya bahwa kantor adalah rumah kedua bagi seluruh karyawan. Kanaya tak menyangkal soal itu. Meski hanya membantu sebagai karyawan magang, tapi tanggungjawabnya hampir sama seperti karyawan tetap. Desain salah dikit, revisi! Content tulisan typo dikit, revisi! Color pallete meleset sedikit, revisi! Waktu makan siang pun digunakan untuk mencari ide konten bersama karyawan lainnya, sesekali juga harus bersedia menjadi talent content creator mereka.

"Hhhhh." Kanaya bernapas lelah setelah ia kembali ke kubikel-nya.

"Gimana jadi intern di sini?" tanya Dea iseng.

"Kayaknya setelah lulus nanti, aku gak perlu bingung soal pengalaman kerja deh, Kak. Hampir dua bulan di sini aja rasanya udah kayak kerja setahun!"

Dea tertawa menanggapi jawaban Kanaya. "Dulu ada karyawan baru tiga bulan, udah langsung resign terus pergi ke psikolog."

"Oh iyaa?" tanya Kanaya penasaran.

"Iya, katanya dia kena gangguan kecemasan."

"Duh, kalau aku sih kayaknya mending teriak Asu di rooftop daripada harus ngeluarin uang gede-gede ke psikolog," komentar Kanaya, membuat Dea lagi-lagi tertawa karenanya.

"Eh, gue denger Minggu kemarin lo ke Bandung sama Dimas?" tanya Dea mulai membelokan percakapan.

"Iya, Kak."

"Nginep di Bandung?"

"Iya, hehehe."

"Udah ngapain aja sama Dimas?"

"Ya gitu deh, main aja ke Bandung, refreshing."

"Ih maksud gue, gimana permainan Dimas sama lo?"

Kanaya menautkan kedua alisnya, mulai menyadari ada yang salah dari percakapan mereka. "Ya ampun, gak sampai situ, Kak. Sumpah!" Kanaya menggelengkan kepalanya.

"Tapi seharian sama Dimas, apa gak ada fantasi lo sama dia, apalagi dia tuh ... " Dea semakin memelankan suara sambil memajukan badannya tanpa melepas tatapannya dari Kanaya, mendramatisir suasana agar Kanaya turut masuk dalam skenarionya.

Dea terkekeh sendiri melihat wajah Kanaya memerah. Cukup sudah ia mengerjai si anak magang. Gak boleh gitu, dosa!

"Becanda yaa ... hehehe," katanya tanpa merasa bersalah. Kanaya lantas meneguk minumannya mengusir canggung. Dea pun kembali membelokan arah percakapan. "Di sana ketemu sama saudara Dimas gak?"

"Maksudnya, anak panti?"

"Bukan. Tapi saudara kandung."

Kanaya mengerjapkan mata. Ia pikir Dea tidak tahu soal Panti asuhan. Tapi ia bahkan menyinggung soal saudara kandungnya Dimas.

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang