07 | Membasuh Pilu

146 53 43
                                    

"Tolong, jangan jauh-jauh dari Dimas."

***

Mata Kanaya tak berhenti menyapu sekitar sejak motor Dimas memasuki pekarangan rumah yang sangat besar. Seluruh bangunannya berwarna putih dan terlihat hampir memudar, seperti sudah termakan usia. Gerimis masih mengguyur tanah di halaman depan rumah. Dimas mengajak Kanaya berteduh di depan teras, lalu memintanya untuk menunggu sebentar kala ia mengetuk pintu. Setelah ketukannya yang ketiga, barulah seorang gadis berusia lebih muda darinya muncul dari balik pintu jati warna coklat.

"Kamu Dinda ya?" ujar Dimas dengan logat sunda pada gadis yang masih berdiri di ambang pintu.

Tak butuh waktu lama untuk gadis yang dipanggil 'Dinda' itu mengenali Dimas, ia lantas membulatkan mata dan berhamburan memeluk Dimas di hadapannya, yang langsung dibalas oleh Dimas.

"Aa Dimas! Dinda teh kangen pisan!"

"Aa juga kangen sama Dinda!"

Kanaya buru-buru mengalihkan pandangan ketika mereka saling saling berpelukan di sana. Berputar-putar, tertawa dan sesekali mendaratkan kecupan di kening dan pipi mereka.

"Sama siapa?" tanya Dinda setelah menyadari kehadiran Kanaya di halaman depan.

"Oh, ini temen Aa, mau dikenalin?"

"Boleh, sini suruh masuk atuh."

Dimas berbalik pada Kanaya. "Woy, asisten, sini masuk!"

"Kok asisten a?"

"Panggilan sayang," bisik Dimas, membuat Dinda memukul kecil lengan Dimas.

"Halo teteh! Kadieu atuh masuk, tiris di luar."

Dimas sampai menarik tangan Kanaya karena gadis itu tampak canggung untuk melangkah.

"Pelan-pelan ish, gue malu masuk rumah cewek lo."

"Hah? Cewek gue?" Dimas menaikkan sebelah alis sambil mengulum senyumnya.

"Iya ini rumah cewek lo bukan? Sampe peluk-pelukan gitu tadi."

"Ngaco!" kata Dimas mengibaskan tangannya.

Mau tak mau Kanaya mengikuti langkah Dimas untuk masuk ke dalam rumah. Ia selami lagi dunia Dimas yang lain, matanya sibuk menyapu ke segala arah. Walau warna putih yang mendominasi, tapi ada rasa hangat menjalar dalam tubuh ketika kakinya memasuki ruang tamu. Lampu penerangan khas pedesaan menjadi peran utama kala gelap mulai menjemput. Selain itu, ia dengar ada seruan anak-anak yang sedang bermain di ruangan tengah.

Tak lama kemudian, sosok wanita paru baya muncul dari balik sekat dapur setelah Dinda memanggilnya.

"Eh, ada Adimas budak kasepnya Bibi! Darimana kamu basah kuyup gini?" sapa wanita itu seraya memberikan handuk pada Dimas. "Udah lama bibi gak lihat kamu."

"Iya nih, Bi, lagi main ke Bandung, jadi Dimas sempetin mampir aja ke Panti," kata Dimas. Pemuda itu menggosok rambutnya dengan handuk.

Kanaya menaikkan sebelah alis. Panti katanya? Ia bahkan tidak tahu tempat ini adalah Panti Asuhan. Gadis itu masih memandangi tiap sudut ruangan, sampai ia tak sengaja menoleh ketika Dimas hendak membuka baju di hadapannya.

"Eh, Dimas! Jangan macem-macem lo ya!" pekik Kanaya seraya menutupi wajahnya.

"Ck, apaan sih?!" Dimas melempar handuk ke wajah Kanaya. "Mandi duluan sana, biar pikiran lo gak kotor!"

"Siapa yang suruh lo telanjang depan gue?!"

"Siapa yang suruh lo ngeliat?!"

Keributan itu membuat Dinda buru-buru meraih tangan Kanaya, lalu mengajaknya ke ruang belakang dengan sopan.

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang