10 | Tengah Malam

140 53 36
                                    

"Untuk saat ini sih fokus sama diri sendiri aja dulu, luka yang kemarin aja belum sembuh."

***

"Kanaya, ada Andika di depan!"

"Iya, Bu. Kanaya kebawah!"

Ngomong-ngomong, sudah lama Kanaya tidak berjumpa dengan pemuda bernama Andika. Pemuda berkacamata yang malam ini mengenakan kaus putih dilapisi cardigan tipis warna coklat. Dan soal senyumannya, Kanaya benar-benar rindu dengan lukisan tuhan yang indah itu. Sungguh Andika selalu manis kalau sudah tersenyum menyapa Kanaya. Seutas rindu langsung mereka bayar saat keduanya saling berpelukan dengan erat sambil sesekali sama-sama menjerit heboh.

"Andika! Aku kangen banget sama kamu!"

"Kamu-nya sibuk magang sih!"

"Kamu juga sibuk sama Tugas Akhir!"

Benar. Kesibukanlah yang memisahkan mereka selama beberapa bulan belakangan. Padahal rumah mereka tidak berjarak antar kota, tapi entah kenapa belakangan ini agak sulit untuk saling sapa. Ternyata semakin bertambahnya usia, semakin sulit untuk berjumpa dengan kawan lama.

"Nih, aku bawa martabak."

"Kamu selalu tahu apa yang lagi aku mau."

"Martabak keju!"

"Let's go!"

Kanaya mengajak Andika duduk di teras rumah, tempat mereka saling bertukar cerita selama ini. Dulu sepulang sekolah, Andika pasti mampir ke teras rumah Kanaya hanya untuk bermain lego, masak-masakan, rumah-rumahan, sampai mengerjakan PR bersama. Kalau sekarang, teras rumah Kanaya diisi dengan cerita bagaiamana keduanya melewati hari demi hari tanpa mereka saling mengisi kehadiran satu sama lain.

Kanaya sempat mendengar bagaimana lelahnya Andika menempuh ujian akhir semester, sambil mempersiapkan diri mengerjakan Tugas Akhir. Andika juga sempat mendengar bagaimana lelahnya Kanaya harus membagi waktu antara pekerjaan dan juga tugas kuliahnya belum lagi tentang cerita Kanaya yang baru saja kehilangan temannya di kantor padahal baru saja nyaman, Kak Dea baru saja memutuskan resign minggu lalu. Sama-sama berat, tapi beban mereka lantas hilang sejak keduanya bertemu kembali. Sungguh mereka bersyukur tentang komitmen untuk saling sapa walaupun sudah dewasa nantinya. Orang-orang boleh datang dan pergi seiring pergantian musim dan usia, tapi janji mereka untuk tetap saling merentangkan tangan masih abadi sampai sekarang. Seolah-olah mereka sama-sama menyambut kepulangan masing-masing ketika waktunya sudah tiba.

"Yah, namanya juga hidup, dinamis, naik dan turun," kata Andika setelah mendengar cerita Kanaya.

"Aku malah mikirnya, roda hidupku kalo gak di bawah ya di bawah banget."

"Hush! Jangan sembarangan kalau ngomong nanti malah diamini gimana?"

"Jangan aamiin."

"Makanya kamu harus yakin kalau kamu bisa laluin semuanya sendiri. Nanti kalau gak ada aku lagi di sisi kamu gimana?"

"Emang kamu mau kemana?"

"Ya gak kemana-mana untuk sekarang, tapi 'kan kita gak mungkin bisa terus sama-sama selamanya."

"Udah ah, jangan bahas soal kepergian, aku belum siap kalau kamu pergi."

"Aku juga belum mau pergi dari kamu, Kanaya."

"Kalo bisa sih jangan ya."

Andika hanya tersenyum menanggapinya. Seketika keduanya sama-sama diam, hanya suara angin malam yang mengisi keheningan. Mungkin mereka hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing, tentang bagaimana mereka keluar dari topik pembicaraan tadi.

DIMAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang