t u j u h

706 117 7
                                    

Teguh menatap Sandhi malas sementara yang ditatap tampak sumringah.

"Ogah ya. Lo tau sendiri gue malesnya kayak apa."

"Please, lah," Sandhi mengguncang pelan lengan Teguh, "Ya ya ya?"

"Najis. Kelakuan lo sama badan lo nggak sejalan."

"Panji ikut, kok," Erwin mendekat sambil membawa dua cup kopi panas. Buru-buru diletakkan di atas meja.

"Iya, Guh. Anak-anaknya si Dion juga ikut semua. Henry nggak bisa karena ada acara."

"Hubungannya sama gue apa?"

"Batu banget heran," Dion memijat pelipisnya frustrasi, "Kenapa sih? Nggak suka banget?"

Teguh mengedikkan bahu. Kembali bersandar sambil membaca majalah di pangkuan.

Wajah aktris Indonesia yang baru-baru ini terkenal jauh lebih menarik daripada topik pembicaraan mereka saat ini.

"Izin sama anak-anaknya aja, San. Nggak bisa nolak lah si Teguh kalo anak-anaknya udah bertitah."

Erwin ditatap tak terima.

"Dih, lo kira gue takut gitu sama anak-anak gue?"

Dion berdecak. Pertahanan diri itu artinya iya. Teguh memang takut pada anak-anaknya.

"Cepet, San. Telepon."

"Mana mana? Nomornya mana?"

"Nih, kosong del—"

"Papa?"

Tiada angin tiada hujan, seorang Adinda Nareswari kini berdiri tegak di hadapan mereka.

Menggandeng erat lengan kanan Johnny sambil memegang minuman di tangan kanan.

"Udah pulang kerja?"

"I-iya," Teguh tertawa gugup, "Kamu sendiri?"

"Dinda masih ada kelas sih, Pa. Ini mampir ke sini dulu soalnya deket sama tempat magangnya Johnny."

"O-oh..."

"Nanti jemput si kembar sekalian kali, Pa. Mereka bilang pulang agak sore kok."

"Oke. Jam berapa?"

"Jam setengah 5. Sebentar lagi berarti ya. Jangan lupa."

"I-iya..."

Dion, Sandhi, dan Erwin mati-matian menahan tawa. Lucu rasanya melihat bagaimana duduk Teguh menegak hanya karena kehadiran si putri sulung.

"Halo, Om."

Sandhi menyambut dengan sukacita. Menarik Dinda supaya mendekat sedikit.

"Din, mau ikut family gathering nggak?"

"Family gathering kayak biasa, Om?"

"Iya. Ada Thalia, lho."

"Boleh, sih, Om. Kapan?"

"Minggu depan."

"Aku sih oke, Om. Caca sama Rena juga pasti mau."

"Oke deeh!"

"Yaudah. Dinda duluan ya, Om, Pa. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan!"

Teguh hanya bisa menghela nafas. Menatap dalam diam selagi teman-temannya bersorak merayakan pengkhianatan yang dilakukan Dinda.

Mungkin Teguh harus memotong uang jajan Dinda setelah ini.







































Cerita Kita!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang