CHARLIE CHAPLIN DAN IBU

579 33 0
                                    

"Ya, bu."

Aku berjalan keluar lift menuju pintu darurat yang manjadi salah satu pintu untuk masuk ke ruang kerjaku. Sebelah tanganku membawa tumpukan berkas yang cukup berat sementara ponselku terjepit diantara bahu dan telinga karena tangan kananku sibuk mencari-cari access card yang seingatku sudah kumasukan ke dalam saku baju namun ternyata tidak ada disana.

"Kamu jadi pulang minggu ini kan, Yan?"

"Injiih kanjeng ibu...."

Terhitung sudah delapan kali ibu menanyakan apakah aku jadi pulang atau tidak minggu ini. Aku paham betul jika ibu sudah begini pasti ada sesuatu yang sedang direncanakannya dan aku juga paham betul apa yang sedang ibu rencanakan. Aku mengangkat tangan meraih ponsel sehingga aku bisa menegakkan kepalaku.

"Siapa lagi kali ini?"

Aku bertanya mengacu kepada kebiasaan ibu yang sering menjodohkanku dengan siapa saja yang menurut ibu potensial. Terkadang dengan anak dari sepupu temannya atau anak dari saudara perempuan tetangga temannya yang tak sengaja ibu temui di pasar, di pengajian atau dimana saja.

"Kamu ingat Fais?"

Aku mengerutkan keningku sembari bersandar pada dinding dekat pintu darurat menunggu seseorang keluar dari dalam sana.

"Fais siapa?"

"Temanmu waktu SD yang pindah ke Kalimantan,"

Aku menyipitkan mata mencoba mengingat-ingat siapa Fais yang ibu maksud. Lima detik kemudian kedua mataku melebar saat aku teringat dengan seseorang bernama Fais, tapi bukan ingatan tentang Fais yang pindah ke Kalimantan.

"Maksud ibu Faisal yang mendorongku dari jembatan itu?"

Waktu kecil aku termasuk anak yang tomboy. Sebagian besar temanku adalah laki-laki dan aku juga hampir tidak pernah bermain ala perempuan seperti bermain boneka, rumah-rumahan, dokter-dokteran atau apapun yang dimainkan oleh anak perempuan. Masa kecilku diisi dengan balapan sepeda, nyari belut di sawah, main layangan, mandi di sungai, gobak sodor, petak umpet malam-malam, main gundu dan berantem. Oh iya perkenalkan namaku Diana, 29 tahun, perempuan.

Suatu ketika aku penah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan. Aku dan Fais ini adalah musuh bebuyutan, dalam segala hal baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Kita akan selalu bertengkar setiap kali selesai ulangan. Nilai ulanganku selalu lebih tinggi darinya, maka dia selalu menyebarkan gosip bahwa aku mendapatkan nilai tinggi karena menyontek atau mencuri soal ulangan. Untuk membalas perbuatannya itu, aku biasanya akan mengolok-oloknya dengan sebutan botak karena entah kenapa kepalanya selalu botak, hanya ada sejumput rambut di atas ubun-ubunnya.

Singkat cerita, dia tidak terima seperti biasanya, tanpa diduga dia kemudian mendorongku dari atas jembatan hingga jatuh ke sungai sedalam kurang lebih dua setengah meter saat kami sedang bermain cip-cipan. Sebuah permainan yang terdiri dari sepuluh orang atau lebih yang dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama sebagai polisi, kelompok kedua sebagai penjahat. Tugas polisi adalah mengejar-ngejar penjahat, setelah tertangkap lalu diikat pada apa saja yang ada di sekitar tempat penangkapan. Bisa di batang pohon, di jembatan, di tiang listrik, dimana saja. Mari kembali ke kejadian Fais mendorongku dari jembatan, aku bisa berenang jadi jatuh ke sungai sedalam itu sama sekali tidak membuatku takut, jera atau apa, apalagi menangis lalu trauma. Akan tetapi karena perbuatannya itu, membuatnya dicap sebagai anak nakal oleh lingkungan tempat tinggal kami. Alhasil seminggu kemudian kudengar orang tuanya mengirimnya ke Kalimantan, ke rumah embahnya.

Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya sampai hari ini. Kalau ibu tidak menyebut-nyebut namanya mungkin selamanya aku akan lupa kalau pernah mempunyai teman bernama Fais. Sungguh akupun lupa kalau pernah 'diterjunkan' dari jembatan yang mungkin kalau terjadi di jaman sekarang akan menjadi kejadian yang viral.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang