Mataku melirik ke arah penanda waktu di sudut kanan bawah monitor di depanku sementara jari-jariku semakin cepat berlarian di atas keyboard. Pukul 16.15, sudah lewat lima belas menit dari jam pulang dan aku masih memiliki beberapa pekerjaan yang belum selesai. Aku mengeluarkan napas dari mulut dengan berlebihan hingga menimbulkan suara, pertanda aku sudah sangat lelah.
"Oke satu lagi." bisikku pada diri sendiri.
Tepat pada saat itu ponselku bergetar, aku melirik ke layar ponsel lalu mengulurkan tangan kiriku dan membaliknya. Aku tidak tahu pada saat yang bersamaan, entah sejak kapan sudah ada seseorang berdiri di belakang kursiku, sampai hidungku mencium bau harum yang tidak menyengat yang begitu familiar. Aku bisa tahu siapa disana tanpa aku harus repot-repot membalikkan badanku. Aku spontan menghentikan pekerjaanku, lalu tanpa permisi dia mengambil alih mouse di tanganku, membuka browser, membuka whatsapp web dan menemukan ada lebih dari tiga puluh pesannya yang belum kubaca. Aku memejamkan mata karena sudah tertangkap basah. Jangan sekarang, kumohon. Aku membatin.
"Nggak jawab telepon, pesan gue dicuekin. Lo udah punya temen baru yang lebih asik dari gue atau gimana?" Tanyanya setelah menarik kursi ke kesebelahku dan duduk disana. Tangannya memutar kursiku sembilan puluh derajat sehingga aku sempurna menghadap ke arahnya dan menatapnya dengan pasrah ekspresi wajah tanpa dosa itu.
Setidaknya sudah tiga hari ini aku mengabaikannya, tanpa aku menjelaskan kenapa. Yang ada di pikiranku seharusnya dia khawatir, cemas atau apalah reaksinya ketika menyadari aku menghindarinya. Setidaknya menanyakan "lo lagi kenapa?" atau "lo baik-baik aja kan?" tapi ternyata aku salah strategi, dia tidak menunjukan gejala itu ataupun melihat ada yang tidak beres denganku. Dia masih Alvin yang biasanya, yang tanpa canggung meraih mouse dari belakang sehingga kepalanya hanya berjarak lima senti di atas bahuku. Orang-orang yang tidak mengenal kami akan mengira kami adalah sepasang kekasih atau bahkan suami-istri.
"Gue lagi stres banyak kerjaan." jawabku sekenanya. Berusaha sebiasa mungkin.
Kalau dipikir-pikir aku seharusnya bersyukur kali ini karena Alvin tidak menyadari perubahanku. Karena kalau dia bertanya, aku belum memiliki jawaban yang masuk akal. Tepatnya tidak memiliki jawaban yang masuk akal, pokoknya yang aku mau Alvin harus mengerti kenapa aku berubah tanpa perlu kujelaskan. Sekarang aku menyesal sudah kekanak-kanakan.
"Udah sana, ah!" aku mendorong kursinya supaya menjauh dengan tangan kiri sementara aku memutar kembali kursiku mengahadap monitor. "Ganggu aja lo!"protesku galak.
"Biar lo nggak stress gimana kalau kita nonton, ada filem bagus." Katanya kemudian, lalu dia menyebutkan judul filem bagus yang dimaksud. Liat sendiri kan? Dia memang sangat tidak peka.
"Nggak!" Tolakku cepat tanpa mengalihkan pandanganku dari layar monitor.
"Gue yang traktir, abis itu lo gue traktir makan dimanapun yang lo mau, gimana?"
Dia masih berusaha merayuku. Aku membuka mesin pencarian, mengetikan judul filem yang dimaksud dan langsung merapatkan kedua mataku begitu melihat hasilnya.
"No way!" Aku berseru seketika.
"Kenapa? Itu filem bagus."
Filem bagus yang dimaksud itu bergenre thriller, crime, action dimana itu sama sekali bukan genre filem yang akan aku tonton apapun alasannya.
"I am against violence, you know that!"
"Please,"
Aku tetap menggeleng, kali ini lebih tegas.
"I need you to come with me, badly!"
Tepat pada saat itu seseorang memanggilnya, bukan dengan namanya tetapi dengan sebutan yang benar-benar membuat hati dan telingaku tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...