12. Underwater

1.7K 163 36
                                    

Udah jadi pihak yang tersakiti,  dirugikan pula. Miris, untung gak kena azab kayak FTV juga.

–Kiannti Pratiwi-

-----------------------------------------------------------

“Mas Gibran serem banget tadi,” ucap Flo–satu-satunya kru perempuan yang ada–ketika mengingat ekspresi dan ucapan Gibran tadi. “Berasa jadi tersangka yang lagi di tuntut hakim.”

Feri menjitak kepala Flo, “bego lo pelihara, yang nuntut tersangka mah jaksa bukan hakim,” ujarnya disusul protesan Flo yang tidak terlalu mengerti dengan tugas-tugas para pegawai pengadilan.

“Tapi emang nakutin ya, gue aja ampe merinding,” timpal Reno sambil bergidik. Tubuhnya berjongkok untuk membenarkan posisi light stand di bantu Bayu.

“Lo kira Mas Gibran setan apa?” balas Flo dengan tangan yang mengurai kabel yang tadi melilit kaki Kinan.

“Mas Gibran sih lebih serem dari setan Flo,” timpal Bayu tanpa menoleh.

“Sereman siapa sama Neta?” tanya Kinan yang sedari tadi diam.

Keempat orang yang sedang bekerja sambil merumpi itu tergelak sebelum menjawab serempak, “Sereman Mbak Neta lah.”

Kinan yang sudah berganti pakaian milik Wiyanti tertawa keras. Begitupun dengan keempat orang tadi. Seolah pertanyaan yang Kinan ajukan itu layaknya pertanyaan retoris. Terlalu mudah dijawab tanpa perlu berpikir lama.

Berbeda dengan Neta yang terhenyak dan langsung berkacak pinggang, “dasar pegawai kurang ajar, kalian mau gue pecat hah?”

Flo memutar bola matanya, tampak bosan. “Dari hari pertama gue kerja, Mbak Neta ngancamnya gitu mulu. Tapi udah tiga tahun gue gak dipecat juga.”

“Lo baru tiga tahun Flo,” ucap Bayu dengan nada meremehkan. “Gue udah lima tahun masih gak di pecat juga.

“Yoi, basi banget ancamannya,” sahut Reno yang sudah berdiri. Tangannya menggerakkan tiang light stand, memastikan benda yang tadi ditabrak Kinan sudah kokok dan bisa menyangga soft box dengan kuat.

Tawa Kinan kembali mengalun. Merasa puas dengan kejujuran mereka. Membuat Neta di tempatnya menggeram. Mempertanyakan siapa atasan dan bawahan di sini? Sikap pegawainya itu makin hari makin melunjak, layaknya harga sembako di pasar.

“Pegawai lupa atasan ya gini nih,” tutur Neta menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Gak gue kasih bonus baru tahu rasa kalian.”

Serempak mereka protes. Ancaman Neta barusan rupanya cukup berefek. Dalam hati perempuan itu tertawa jahat. Seharusnya dari tadi dia keluarkan jurus ini. Ancamannya tentang pemecatan mungkin terdengar membosankan. Sebab sepanjang dia melontarkan ancaman itu, sampai detik ini belum ada satu pun pegawai yang dipecat. Kesulitan memecat pegawai sepadan dengan kesulitan untuk mendapatkannya.

“Lagian kalian kira-kira dong,” ucap Neta kemudian. “Ngomongin Mas Gibran di depan Emak sama calon istrinya.”

Terkejut dan merasa malu menghiasi wajah-wajah yang tadi menggunjingkan Gibran. Lupa saat ini mereka sedang berada di rumah orang yang jadi objek pembicaraan. Meringis, mereka takut-takut melihat Wiyanti dan Raya.

Yang dilirik tidak bereaksi banyak. Raya bahkan hanya melengos, tidak mau meladeni. Sungguh tidak seperti perempuan itu biasanya. Lain dengan Wiyanti, sebagai balasan bibirnya tersenyum maklum lantas mengibaskan tangan. Mengisyaratkan mereka untuk tidak perlu sungkan. Merasa wajar karena Gibran memang menakutkan ketika sedang marah.

Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang