14. Di balik kontrakan

1.7K 159 23
                                    

Kalau boleh menyesal, mungkin tentang perasaan yang masih sama.

–Kinanti Pratiwi–

-----------------------------------------------------------

Pertanyaan yang menggelayuti Kinan malam itu, kenapa Gibran masih bisa mengingat kontrakannya? Padahal terakhir kali lelaki itu menyambangi kontrakannya sepuluh tahun silam. Mungkinkah Gibran mengindap Sindrom Hipertimesia? Dimana orang yang mengidap sindrom ini mempunyai daya ingat super, dan begitu detail tentang suatu kejadian yang pernah dialaminya. Tidak. Kepala Kinan menggeleng, teringat Gibran yang punya kesulitan dalam mengingat nama orang.

Mungkinkah karena Gibran yang membantu Kinan menemukan menemukan kontrakan ini dulu? Terjadi sepuluh tahun lalu, di bulan Februari. Pada pertemuan kedua mereka di hari minggu. Gibran sengaja datang ke studio foto tempat Kinan bekerja. Entah apa tujuannya, yang jelas Gibran tidak se-susah itu untuk menagih traktiran.

Gadis itu hampir memarahi Gibran yang berhenti tepat di depannya. Sebab laki-laki dan motornya itu, menghalangi angkot yang hendak berhenti. Padahal kakinya sudah pegal menunggu.

“Hai,” sapanya setelah mematikan mesin dan membuka helm.

“Lo ngapain di sini?”

Mendapati respon si gadis yang tidak ramah sama sekali membuat Gibran berdecak. “Bilang hai lagi kek, ketus amat lo.”

“Suruh siapa lo berhenti di depan gue.” Jari Kinan menunjuk angkot yang jaraknya sekitar 100 meter di depan. “Tuh, angkotnya jadi gak berhenti kan.”

“Yaelah, gitu doang sewot. Naik deh, gue anterin. Lo mau kemana?”

“Gak usah! Lo minggir aja, jangan ngalangin jalan.”

Gibran sama sekali tidak mengindahkan ucapan itu. Maka Kinan mengalah, melangkah sambil menghentakkan kaki. Mencari tempat yang agak jauh dari motor Gibran. Tidak tahu jika ternyata lelaki itu mengikuti. Sampai akhirnya Kinan merasakan seseorang menarik tangannya, membuat langkahnya otomatis terhenti.

“Kenapa? Lo mau nagih traktiran? Gue belom gajian, jadi nanti lagi lo datengnya.”

“Kok gue berasa rentenir ya,” monolog Gibran. “Lo mau pergi, kan?”

Kepala Kinan mengangguk, mengiyakan. “Ya udah gue anterin. Anggap aja permintaan maaf karena udah ngalangin angkotnya berhenti tadi.”

Kinan menarik tangannya sebelum menggeleng. “Gak usah. Gue mau keliling soalnya, tujuannya gak jelas. Dan pastinya bakal lama juga.”

“Gak masalah,” jawab Gibran dengan cepat. “Toh gue juga lagi nganggur.”

Kinan terdiam, tampak berpikir sebelum bertanya, “gratis, kan?”

Gibran kontan tertawa. Tawa pertama yang Kinan dengar lelaki itu. Terasa menyejukkan di panasnya cuaca Jakarta siang itu. Mata lelaki itu yang sedikit menyipit, sama sekali tidak mengurangi kadar ketampanannya. Mempengaruhi bibir Kinan untuk mengulas senyum. Membuat tawa Gibran seketika berhenti begitu matanya menangkap senyum itu.

“Lo–lo ngapain senyum?”

Alis Kinan terangkat sebelum menjawab. Merasa aneh dengan pertanyaan Gibran. “Soalnya lo nambah ganteng pas ketawa."

Gibran terdiam, tanpa bisa menyahut. Ekspresinya tidak bisa di kondisikan. Terlebih saat rasa hangat perlahan  menjalari wajahnya  Takut gadis itu melihat perubahan ekpresinya, Gibran menoleh ke arah lain. Merasa aneh dengan dirinya sendiri. Sebagai orang yang punya tampang di atas rata-rata, sudah banyak yang memujinya. Jadi tidak lucu rasanya, dia merona hanya karena ucapan gadis berusia lima belas tahun.

Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang