Kecewa itu bukan saat putusnya, tapi waktu tahu kalau hubungan yang kita jalani hanya sekadar angin lalu buat dia.
–Kinanti Pratiwi–
----------------------------------------------------------
Di kursi halte Kinan menggerakkan kakinya sambil bersenandung kecil, sebagai cara melepas bosan ketika menunggu kedatangan Gibran. Tangannya sesekali melambai kepada temannya yang pulang lebih dulu. Dulu, yang biasa ditunggu olehnya ialah supir angkutan umum. Terkadang dia juga menumpang dengan temannya yang membawa kendaraan.
Lima belas menit merupakan waktu terlama Kinan duduk menunggu di halte. Namun kiranya berbeda dengan hari ini, untuk pertama kalinya setelah tiga bulan belakangan dijemput, Kinan menunggu sampai setengah jam. Kalau Kinan memiliki ponsel, pastilah sejak tadi dia sudah meneror Gibran dengan panggilan dan juga pesan. Sayangnya Kinan tidak punya, dan hal ini yang seringkali dipermasalahkan oleh Gibran. Yang sekarang sedang dipermasalahkan juga olehnya.
Sekitar seperempat jam berlalu, Gibran tak kunjung datang. Mengingat dirinya yang ada pekerjaan, Kinan bangkit, hendak menyetop angkutan umum. Saat itu sebuah motor berhenti tepat di depan Kinan yang sudah berdiri. Tetapi itu bukan orang yang sedang ditunggunya.
“Ditungguin gak nongol juga, ternyata lo malah nongkrong di sini. Ngapain coba? Mau jadi penunggu halte lo?” tanya Rudi–pemilik studio foto tempat Kinan bekerja–beruntun begitu membuka helm.
Kinan meringis pelan. “Yang jemput gue belum dateng Bang.”
Rudi tidak tahan untuk memutar bola matanya. “Terus lo mau nunggu sampe jadi arwah di sini? Ya kali Nan.”
“Ya gak gitu Bang,” sela Kinan membela diri. “Barusan gue juga mau naik angkot.”
“Alesan lo,” ucap Rudi dengan tangan menyodorkan helm kepada Kinan. “Gue anterin biar gak telat. Kalau kerjaan batal, gue bayar lo pake apa Nan?” lanjutnya dengan nada bercanda.
“Ya pake duit dong Bang, masa pake daun sih,” sahut Kinan cepat.
Di atas motornya Rudi berdecak, kalau urusan uang Kinan itu cepat tanggap. “Ya tapi lo gak bakal dapet duit kalau nongkrong di halte terus. Udah buruan naik.”
“Iya iya.”
Hari itu Kinan hanya berpikir jika Gibran tidak bisa menjemputnya karena suatu alasan dan jelas tidak bisa mengabarinya. Jadi esoknya, Kinan kembali menunggu Gibran yang ternyata tidak muncul juga setelah satu jam. Sehingga Kinan pulang naik angkutan umum. Untungnya saat itu dia tidak ada pekerjaan.
Hari ketiga Gibran masih tidak datang menjemput. Gibran juga tidak menemuinya di studio foto ataupun di kontrakan. Hal itu terus berlanjut sampai satu minggu. Pikiran Kinan mulai gelisah, berkali-kali dirinya menghela napas di depan komputer. Saat ini Kinan sedang mengedit foto di temani Rudi.
“Lo kenapa dah, kayak orang belum gajian aja?” tanya Rudi yang mulai bosan melihat tingkah Kinan.
“Gue emang belum gajian Bang,” sahut Kinan lemas.
Kontan Rudi menggeplak belakang kepala Kinan, hingga kepala gadis itu hampir menyentuh layar komputer. “Gue udah bayar gaji lo ya.”
Kinan mengusap belakang kepalanya, bibirnya mengerucut. “Tapi kan yang bulan depan belum.”
“Heh, ya jelas belum lah!” sela Rudi tak terima. “Lo kan baru gajian kemarin.”
“Hehe, bercanda gue Bang.” Kinan mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.
“Hehe.” Rudi mengulang tawa Kinan dengan sumbang. “Udahlah gak usah galau, putus cinta mah biasa,” lanjutnya kemudian.
“Heh!” Kinan yang kini tergelak. “Siapa yang putus coba.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbit
ChickLitSeri kontrakan jodoh ke-1 Judul sebelumnya : hai mantan Kinan tidak pernah menyangka, jika menerima tawaran pekerjaan dari temannya, berarti harus kembali berurusan dengan Gibran. Mantan pacar pertamanya satu dekade lalu. Yah, selama itu mereka tida...