Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Jelangkung atau mantan?
–Kinanti Pratiwi–
-----------------------------------------------------------
Malam itu kamar kontrakan Kinan ramai. Teriakan penuh kesakitan membahana, menarik perhatian para tetangga yang hanya bersekat dinding. Bergantian datang untuk mengetahui penyebab dari teriakan histeris seperti orang yang kesurupan. Terlebih malam itu malam jumat. Siapa tahu ada setan iseng yang naksir Kinan dan masuk ke tubuhnya.
Mereka sudah bersiap memanggil dukun atau siapa pun yang bisa mengusir hantu. Rencana tersebut tidak terealisasi ketika sudah melihat Kinan. Perempuan seperempat abad itu menjambak rambut Noe dengan kuat. Menyalurkan rasa sakitnya ketika tukang pijat yang di panggil ibu kontrakan melakukan tugasnya.
Yang menyaksikan hanya tertawa sebelum berlalu. Menyisakan Noe yang harus sabar. Sesekali lelaki itu ikut berteriak karena jambakan Kinan yang menguat. Dian yang bersandar di pintu hanya tertawa menyaksikan nasib Noe malam itu. Mau melepaskan diri tidak bisa, jadilah dia hanya pasrah. Menerima perlakuan Kinan sambil berpikir apakah perempuan itu begitu kesakitan.
“AW NAN! LEPAS DONG! KAU KAN SUDAH SELESAI DI PIJATNYA!”
Dengan kepala yang masih miring, Noe berteriak. Bahkan tukang pijat itu sudah keluar dari kamar Kinan. Bukannya melepaskan, jambakan Kinan malah kian kuat.
“TAPI KAKI GUE MASIH SAKIT!”
“HABIS RAMBUTKU KALAU TUNGGU KAKIMU SEMBUH!”
Menghempaskan kepala Noe, Kinan lantas mengusap matanya. Entah sejak kapan dia menangis. Yang jelas Kinan kapok diurut. Seumur-umur ini kali kedua dirinya harus diurut. Terakhir waktu kecil dan Kinan sudah lupa rasanya. Ternyata benar-benar sakit. Terlebih ketika bunyi klik terdengar.
“Ya ampun Nan.” Dian pun turut mengusap matanya yang berair karena terlalu lama tertawa. “Lo masa kalah sama Mona sih. Dia aja waktu di urut cuma meringis sambil buat status di medsos.”
Mendengar nama adik Dian yang masih SMP itu disebut, bibir Kinan mencebik. Anak jaman sekarang itu ya apa-apa diposting di medsos. “Orang yang urut adek lo pake perasaan berarti.”
“Kalau pake perasaan yang ada entarnya lo baper, bukan sembuh.” Dian mendekat, duduk di samping Noe. “Lagian gak lucu, masa lo baper sama nenek-nenek.”
Mata Kinan melotot, tangannya bergerak cepat untuk melempar Dian dengan bantal. “Diem lo Mbak!”
“Kau yang seharusnya diam Nan,” koreksi Noe dengan kalem. “Belum ada satu hari kakimu terkilir, otakmu sudah hilang fungsi.”
“Ihh Bang! Gue masih waras ya.”
“Kalau kau masih waras, kau jelas tahu orang urut itu ya pakai tangan, bukannya perasaan.”
“Duh Babang Noe editor ganteng ... Gue kan pake majas, masa lo gak ngerti sih.”
“Se-bahagia kau saja lah, Nan.”
Noe memilih mengalah untuk mengalah. Berdebat dengan kaum perempuan tidak akan ada habisnya. Apalagi dengan kondisi Kinan saat ini. Khawatir otak perempuan itu benar-benar bermasalah karena kakinya terkilir. Dia segera membantu Kinan yang hendak merubah posisi untuk duduk. Menumpukan bantal di belakang punggung Kinan agar perempuan itu lebi nyaman, dan tidak bersandar langsung dengan tembok.
“Lo gak mau kasih tahu keluarga lo, Nan?” tanya Dian begitu Kinan sudah duduk.
“Ngapain banget deh Mbak, lagian kaki gue cuma kekilir, bukannya patah. Kayak bocah aja harus bilang–AW! Sakit Bang!” Kinan mengusap keningnya yang baru saja disentil Noe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbit
Literatura FemininaSeri kontrakan jodoh ke-1 Judul sebelumnya : hai mantan Kinan tidak pernah menyangka, jika menerima tawaran pekerjaan dari temannya, berarti harus kembali berurusan dengan Gibran. Mantan pacar pertamanya satu dekade lalu. Yah, selama itu mereka tida...