Ketika mayat lebih penting dari manusia.
–Kinanti Pratiwi–
----------------------------------------------------------
Dua hari berlalu dari pertemuan dengan Arsen, keadaan kaki Kinan sudah membaik, begitu pula hatinya. Kakinya tidak lagi bengkak, hanya masih sedikit nyeri kalau berjalan terlalu cepat. Kinan juga sudah bisa melakukan aktivitasnya seperti biasa. Sekarang saja dia baru turun dari mobil di vendor Neta. Merasa bosan terus berada di kontrakan. Rencananya setelah dari sini, Kinan akan menyurvei kembali gedung yang akan ia sewa untuk pameran nanti.
Bunyi lonceng terdengar begitu Kinan mendorong pintu kaca. Rani yang berada di balik meja langsung menyapanya. Melewati Rani, ada satu set sofa multifungsi. Biasa digunakan untuk menjamu tamu, yang kemudian di arahkan ke lantai dua di mana ruangan Neta berada. Seringnya dipakai para pegawai untuk santai-santai, seperti Jami dan Reka yang saat ini tengah mengobrol.
Kehadiran Jami menghasilkan kernyitan heran di kening Kinan. Merasa bingung dengan kehadiran pengantin baru di sini. Seingatnya, Jami masih dalam masa cuti. Jadi begitu menghempaskan tubuh di antara kedua lelaki itu, Kinan bertanya, “ngapain pengantin baru udah di sini?”
“Namanya pengantin baru, tapi masih perjaka Mbak."
Bukan Jami yang menjawab, melainkan Reka yang tampak menahan tawa. Reka ini fotografer sekaligus pegawai Neta yang termuda. Usianya dua puluh tiga tahun, dan baru bergabung sekitar dua tahun.
“Serius! Kok bisa?” Kinan menatap Jami penasaran.
Wajah Jami yang bahkan sebelum kedatangan Kinan tidak ada cerah-cerahnya, langsung berubah masam. Seharusnya saat ini dia sedang dalam masa bahagia, bukannya sengsara. “Elia datang bulan di malam pertama, Nan.”
Membulatkan mulut tanpa suara, Kinan mengangguk beberapa kali. Nasib Jami ini sangat tidak beruntung rupanya. Sang istri datang bulan ketika mereka baru menikah. “Tapi bukannya udah semingguan ya, masih belum kelar juga?”
“Udah kelar,” ujar Jami cepat dengan bibir mengerucut. Wajahnya kian murung. “Tapi semalem pas mau mulai, eh ada telepon dari rumah sakit buat otopsi. Elia langsung pake baju lagi terus pergi ninggalin gue gitu aja.”
Sontak saja Kinan terbahak. Begitu pula dengan Reka yang sudah lebih dulu tahu ceritanya. Keduanya bingung harus merasa senang atau kasihan dengan Jami. Sudah ditunda oleh datang bulan, sekarang ditahan pasien. Tidak, bukan pasien malah, tapi mayat. Elia itu dokter forensik yang urusannya dengan pasien tak bernyawa. Pastilah Jami melongo ketika Elia lebih memilih mayat.
“Nasib lo Bang," ujar Kinan berusaha untuk berhenti tertawa. "Gak lebih penting dari mayat."
“Bener Mbak. Jangan-jangan mayatnya lebih ganteng dari Bang Jami lagi,” timpal Reka membuat Kinan gagal untuk berhenti tertawa.
“Bang Jami kalah sama mayat.”
“Padahal mayat cuma diem aja. Tapi malah disamperin sama mbak El.”
“Iya. Makanya Bang, lo jadi mayat dulu sana!”
“Iya Bang, biar diperhatiin mbak El.”
“Sialan lo pada! Masa gue disuruh mati,” hardik Jami kepada teman satu profesinya. Entah dari mana dia memungut mereka berdua.
Keduanya kembali tertawa, belum merasa puas dan malah melanjutkan. "Udah gitu mayatnya disentuh-sentuh, padahal Bang Jami aja belum.”
Reka mengangguk semangat. “Iya Mbak. Berarti abis sentuh mayat, baru sentuh Bang Jami.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Ex-Boyfriend! (End) ~ sudah terbit
Chick-LitSeri kontrakan jodoh ke-1 Judul sebelumnya : hai mantan Kinan tidak pernah menyangka, jika menerima tawaran pekerjaan dari temannya, berarti harus kembali berurusan dengan Gibran. Mantan pacar pertamanya satu dekade lalu. Yah, selama itu mereka tida...