Sinbi tak berhenti menggerutu sepanjang jalan, hari ini dunia seakan tak ingin memihaknya.
Tadi saja Mr. Bambang tak mengijinkannya melihat Jisya sebelum berangkat lomba.
Kini tiba tiba Aryan mengirim pesan menyuruhnya ke kantin sekarang juga.
Ish. Pemuda itu memang selalu bersikap semaunya.
Dan bodohnya ia sebagai sahabat juga tak bisa mengabaikan panggilan sahabat sahabat nya.
Sesampainya di kantin, Sinbi mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan pemuda yang menyuruhnya cepat cepat itu.
"Hah! Nyuruh datang kayak siapa aje. Disuruh buru buru lagi gue. Sial banget" gumam Sinbi dengan kaki berderap cepat ke meja yang sudah dihuni oleh Aryan dan juga Kaslam.
Setelah sampai, Sinbi langsung menepuk keras pundak pemuda itu. Menarik napas, kemudian mulai berbicara. "LO!!! Gak ada Jisya yang Lo recokin jadi Lo manggil juga berdua. Iya kan? Ayo bilang cepet siapa yang putusin atau nolak Lo lagi he? Biar gue cincang karena gegara dia gue jadi sibuk ngurus Lo yang bentar lagi bakalan menggelepar kek ca--"
"Jisya lombanya di dekat gapura"
"-cing----HAAAA?!!"
Atmosfir langsung berubah menjadi berat. Raut khawatir Aryan terlihat serius seiring dengan tangannya tak berhenti mengetik- menanyakan kondisi gadis itu.
Kaslam yang tadinya malas malasan di meja terduduk tegap secara refleks. Ia memang tadi sudah menuju tidur saat di kelas, tetapi Aryan tiba tiba masuk tanpa kata menariknya hingga terdampar di meja kantin.
Sinbi sendiri yang sedari tadi penuh dengan raut kesal berubah menjadi diam dan serius.
Aryan mendesis mengusap wajah frustasi. Ia kemudian mengangkat wajah menatap dua sahabatnya yang juga balas menatapnya.
"Jisya.....bilang apa?"
Kalimat pertama Kaslam. Aryan menghela napas, menjawab "Katanya tadi pas persimpangan baru nyadar kalau lombanya ternyata dekat gapura. Barusan habis ngurus administrasi sekarang lagi nunggu giliran"
Sinbi meneguk ludah, "Jisya.....gak kenapa kenapa kan?"
Aryan menunduk, sambil mengacak rambut kesal. "Katanya belum ada yang dia kenali, juga.....katanya sekarang masih aman". Pemuda itu tiba tiba mengangkat wajah tak santai. "Tapi Lo tau kan Jisya. Dia selalu bilang gak apa apa. Ujungnya nanti pingsan juga karena sesak. Aish gue gak tau harus ngapain. Astaga" ujar Aryan frustasi.
Mereka bertiga hanya menundukkan kepala. Sama sama frustasi dan berdoa semoga sahabatnya itu tak kenapa kenapa.
Tak ayal. Sinbi merasa tak berguna.
Karena memang begitu.
Tak ada memang yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya di masa masa seperti ini.
Begitupun Aryan dan Kaslam.
Tak ada.
•••
....
Jisya tersenyum kecut, menipiskan bibir. Lalu bergumam, "Ternyata.... tak peduli seberapa sering gue menghindar. Akhirnya juga tetap sampai di sini"
Gadis cantik ini paham betul bagaimana rasa menyakitkan yang terus diagung agungkan orang saat terkena masalah.
Ia paham. Karena memang semenyakitkan itu.
Jisya ingat, saat hari pertama ia menabur benih di lumpur tenang. Rasanya menyenangkan, karena tak perlu menggali tanah lalu kembali menimbunnya- seperti orang orang yang menanan benih di tanah biasa.
Gadis ini ingat betul, satu biji jatuh langsung tertanam tanpa perlu capek capek.
Tapi ia tak berpikir jauh. Lumpur tenang ini justru akan membuatnya lebih capek lagi. Sebab tenang bukan berarti damai kawan.
Lumpur ini tenang, tapi tiba tiba akan menyergapmu menalan seperti benih benih yang ditaburmu di awal.
Mulai detik itu. Belenggu seperti sudah menjerat lehernya. Menekan keras hingga ia tak bisa lagi bernapas dengan leluasa.
Juga mulai detik itu, ia sadar. Jalan satu satunya adalah topeng hitam yang akan terus terpasang di wajahnya.
Benar saja.
Sesaat belengu itu terlepas. Topeng hitam sudah melekat sempurna padanya.
"Ji....sya?"
Jisya berbalik pelan, menyerngit tapi tiba tiba terkesiap. Refleks kakinya bergerak mundur. Tangannya? Jangan tanya lagi. Bisa bisa terkelupas sangking kencang ia menggesekkan kedua tangannya guna menahan sesak.
Gadis berambut panjang di depannya tersenyum lebar. Entah pura pura tak tau atau memang tak tau. Karena raut panik dan tak nyaman Jisya sudah sangat jelas.
Tetapi gadis berambut panjang itu malah tersenyum semakin lebar dan tambah melangkah mendekat.
"Haha gak nyangka gue Jisya. Kita ketemu lagi sejak berapa lama ya? Aaa udah tiga tahun kan ya. Lo kan pindah SMP di tahun terakhir kan"
Seakan buta dan tuli. Gadis itu terus saja menyerocos sok akrab padahal lawan bicaranya hanya menunduk dan mendesis tak nyaman.
"--padahal sayang banget, Lo kan akrab sama Ar---"
"Jisya?"
Jisya berbalik, menghembuskan napas lega melihat Miss Ana datang sambil menyerngit.
"Ayo, urutan kamu udah dekat"
Sumpah beribu ribu terima kasih Jisya ucapkan pada Miss nya ini.
Berkatnya ia bisa bebas dari gadis itu. Tanpa pamit, Jisya melenggang pergi. Namun ia sempatkan menatap wajah gadis berambut panjang itu lagi.
Dan seketika ia terkesiap.
Dengan langkah mundur dan mata membelalak.
Jisya yakin,
Gadis itu.....
Menyeringai lebar dan sinis memandanginya.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Marigold
Teen FictionMaureta Jisya Aurelia. Panggilan akrabnya sih Jisya. Si ratu cantik dari SMA Flawless. Cantik dah pasti, Imut iya, Ramah iya, Murah senyum juga iya. Aduh pokoknya pacarable banget. Tapi kenyataannya justru gak pernah punya pacar. Yang nyepik sih ba...