23. Dia

24 9 0
                                    

Sudah seminggu Galen berada di sekolah ini. Jika mau jujur, sebenarnya ia berharap. Sangat berharap malah. Jika.... ini adalah tempat terakhirnya untuk masa SMAnya.

"Galen..?"

Galen berbalik. Jisya terlihat keluar dari salah satu kelas IPS. Gadis itu tersenyum ceria, berlari kecil menuju Galen.

Pemuda berkulit putih itu mengangkat satu alis, balas tersenyum. "Kenapa Jisya?"

"Hn? Oh Hehehe enggak sih. Mau ke perpus kan?"

Galen mengangguk.

"Nahh!!" Gadis cantik itu berseru riang. Menarik lengan Galen agar berjalan, "Gue juga mau. Ayo bareng"

Mereka pun berjalan bersama menuju perpustakaan. Dengan Jisya yang masih memegang lengan pemuda itu. Juga, dengan Galen yang masih tak sadar.

"Jisya?"

Jisya yang masih tersenyum riang berbalik.

"Hm?"

Senyumnya seketika luntur. Raut datar serta atmosfir sekeliling mereka berubah drastis.

"Gue--"

"Sorry Gue gak punya waktu"

Tanpa menatap pemuda itu, Jisya melangkah menjauh.

Menyisakan kedua pemuda di koridor itu yang sama sama terdiam.

Galen karena bingung. Dan pemuda itu. Raut kecewanya terlalu kentara, tentu saja. Penolakan itu memang pantas didapatkannya.

Hanya saja.

Ia hanya ingin memperbaikinya.

Tidak bisakah?














Dentuman buku yang diletakkan terdengar keras. Berulang kali. Menandakan gadis cantik di sudut ruangan itu begitu kesal.

Untung saja perpustakaan sedang tak ramai. Juga pegawai perpustakaan sepertinya sedang keluar, karena hanya gadis kelas sepuluh yang sedang bertugas menjaga.

Galen menelan ludah. Menguatkan mental lalu berjalan ke arah gadis itu.

Setelah seminggu bersama, Galen tau. Gadis ini adalah tipe gadis ceria dan ramah pada siapa saja. Tidak sekalipun ia pernah melihat raut datar serius dan atmosfer sekeliling gadis itu menjadi tak mengenakkan.

Semua orang tau. Gadis cantik ini adalah ikonnya MIPA 1. Bukan hanya karena cantik, ramah, dan baik hati. Tetapi karena memang gadis ini selalu menyebarkan energi positif pada siapa saja.

Tetapi tadi?

Galen yakin. Ia tak salah tadi. Kejadian itu memang terjadi. Apalagi persis di depannya.

Dengan langkah pelan, pemuda itu menarik kursi di depan gadis itu.

Tanpa kata, menaruh pena dan notebook nya di dekat tumpukan buku buku yang diletakkan Jisya dengan keras di meja tadi.

Meja mereka hening.

Jisya yang masih dengan raut datarnya, fokus membaca. Dan Galen yang juga berusaha memfokuskan dirinya walaupun rasa penasarannya jauh lebih banyak. Hanya saja pemuda itu menahannya sekuat mungkin. Mungkin ini masalah pribadi Jisya atau semacamnya kan?

Yang mungkin saja, jika ia bertanya malah akan memunculkan kembali luka itu?

Galen tentu tidak ingin.

Pemuda itu berdehem, kemudian mulai fokus pada buku dan meredam rasa penasarannya.

•••














"Astaga beneran? Lah kasihan banget"

Galen dari bangkunya menatap gadis cantik itu dari samping. Gadis itu memang sedang menghadap samping, berbincang bersama Yena, Juyu, dan Hanin.

Yena terlihat mengangguk dengan semangat, kemudian berdiri memperagakan model jalan seseorang kemudian tiba tiba gadis mungil itu terjatuh. Kemudian berdiri lagi, "Kek gitu anjir. Juyu yang di belakangnya malah gak bisa nahan ketawa"

Juyu yang duduk di kursi mendelik, lalu tertawa keras. "HAHAHAHAHAHA GUE GAK BISA NAHAN EMANG. EKSPRESINYA JUGA NGAKAK BANGET"

Wajah Jisya sudah merah karena tertawa. Gadis itu bahkan sekali kali mengusap bawah matanya yang berair karena terlalu sering tertawa.

Galen tak sadar, ujung bibirnya sedikit tertarik. Tertular senyum gadis cantik itu.

Sedetik kemudian tersadar. Pemuda itu menormalkan raut wajahnya, lalu memukul kepala malu. "Ngapain sih?" Gumamnya pada diri sendiri. 

Setelah itu, ia kembali meluruskan pandangannya. Menatap gadis cantik itu lagi dari samping. Tapi ada yang mengganggunya, pemuda yang selalu bersama Jisya itu.

Sekarang bahkan, pemuda itu duduk di meja Jisya yang ditariknya ke samping agar ia berada di belakang gadis itu.

Pemuda itu tak ikut pembicaraan, walaupun sesekali ikut menimpali dan tertawa. Tapi fokusnya sepenuhnya berada di depannya.

Kedua tangannya sedari tadi tidak berhenti bergerak membelai rambut gadis itu dari belakang.

Galen kemudian melihat reaksi Jisya. Kenapa gadis itu biasa saja? Malah sepertinya sudah biasa? Dan tak masalah sama sekali.

Ia lagi lagi penasaran karena gadis itu. Sebenarnya apa hubungannya dengan Aryan? Dan juga pemuda di koridor tadi?

 Sebenarnya apa hubungannya dengan Aryan? Dan juga pemuda di koridor tadi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


•••

MarigoldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang