Chapter 1 : Prolog

355 25 0
                                    


Aku mengangkat gelas sampanye di tanganku tinggi-tinggi. Di atas rambut merah muda seorang wanita yang tersenyum lembut, aku menuangkannya.

Sampanye mengalir dari rambut ke wajah, lalu membasahi gaun putihnya.

Keheningan singkat melintas antara aku dan dia, dan kerumunan yang berisik mulai memenuhi aula pesta. Mendengar suara-suara itu, aku meletakkan kembali gelas champage di atas meja.

Tawaku meledak saat melihat penampilan wanita di depanku itu. Wajah tersenyumnya terdistorsi secara halus.

Sangat menyenangkan rasanya melihat lalat dengan pandangan jijik di siang hari.

"Putri Raylene."

Aku bisa melihat Iris, si wanita berambut pink, memegangi wajahnya. Wajahnya, yang telah dicemari oleh rasa malu, kini menjadi tenang kembali. Perubahan itu membuat tawaku semakin menjadi.

Apa kau tidak sadar aku sangat menikmati penampilan kacaumu itu saat ini?

Dia segera mengenakan topeng pemenang di wajahnya.

Aku tertawa.

Hari ini adalah pesta Thanksgiving untuk merayakan panen. Bukan sekadar tempat berkumpul biasa untuk pria dan wanita muda di masyarakat. Jelas tidak bijaksana bagiku untuk menunjukkan ini di hadapan semua bangsawan tua dan terhormat lainnya.

Aku pasti akan dikritik karena menjadi penjahat lagi hari ini. Tapi aku hanya tertawa.

Standar untuk menjadi seorang wanita jahat memang sangat sederhana. Jika dengan berperilaku seperti itu aku akan disebut wanita jahat, ya mau bagaimana lagi.

"Kamu tahu siapa aku 'kan, Lady Iris?"

"Apa kamu melakukan ini karena kamu pikir aku tidak mengenalmu?"

Aku melambaikan kipasku yang terbuka lebar saat mendengar jawaban Iris.

"Kalau begitu apa Lady Iris melakukan itu meskipun tahu siapa aku?"

"Apa maksudmu?!"

"Apa kamu berani mengatakan bahwa aku seorang wanita vulgar, meskipun kamu tahu aku seorang putri Duke? Kamu, yang hanya putri seorang viscount?"

Wajah Iris kembali memerah, seolah baru saja disiram sampanye. Topeng pemenangnya runtuh. Aku menutup mulutku dengan kipas saat melihatnya tertegun.

Dia tidak mengatakannya secara langsung seperti yang kulakukan. Dia hanya mengkritik secara metaforis. Tapi maknanya tidak berubah.

"Aku hanya mengatakan bahwa pakaian Putri Raylene tidak biasa."

"Kamu mengatakan gaunku seperti pakaian seorang penari."

"Gaun itu memiliki karakter yang mirip, jadi...."

"Aku yakin aku mengenal banyak desainer hebat, dan Kamu bilang gaun mereka tampak tidak sesuai dengan martabat seorang putri Duke?"

"Sudah kubilang bahwa menurutku ada gaun yang lebih baik untuk putri."

"Jadi, apa maksudnya kamu akan memperkenalkan desainer baru kepadaku?"

Entah mengapa, saat ini mendengar suaraku sendiri saja rasanya sudah menyenangkan.

Benar, aku senang berada di posisi ini.

"Aku hanya memberimu beberapa nasihat demi martabatmu. Aku tidak tahu bagaimana Kamu bisa mengartikannya menjadi sesuatu yang vulgar."

Setelah ditundukkan beberapa kali dengan metode yang sama, dia sepertinya masih tidak menyadari niatku sebenarnya.

The KandmionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang