IL 01 - Arghh! Seram Gak, Gue?

450 43 1
                                    

Manusia itu derajatnya lebih tinggi dari hantu, tapi ego manusia juga gak kalah tinggi.

=IndigoLove=

Tungkainya melangkah menuju salah satu ruangan di sekolah ini. Mendengar suara wanita meminta tolong membuatnya kembali penasaran. Sadar atau tidak ia juga sedang diikuti pria yang berjalan keren bak model di belakangnya.

Niatnya ingin mencari tahu apa yang terjadi melalui sumber suara itu buyar saat bel masuk berdering. Berdecak kesal kemudian melangkah menuju kelasnya.

"Lo darimana?" tanya Gisya--teman sebangku Natha-- ia menatap penampilan Natha dari atas ssampai bawah. Hoddie hitam lengkap dengan tudung yang ia kenakan membuat beberapa orang memandang aneh temannya itu.

"Jalan-jalan." Ia duduk di samping Gisya setelah melepas hoddie hitamnya.

"Nan, lo tahu, gak?"

"Gak tahu." Potongnya cepat.

Tangan Gisya terangkat menoyor pelan kepalanya. "Gue belum selesai bicara, Natha!" geramnya.

Ia mendekat padanya, berbisik lirih saat ingn mengatakan satu hal yang sepertinya sebuah rahasia. "Katanya ... ada anak kelas sebelas yang lihat hantu di toilet cowok." Matanya membulat mendengar ungkapan Gisya.

"Ganteng, gak?" Satu toyoran kembali ia dapatkan saat pertanyan yang tak seharusnya ia ungkapkan.

"Bego kau mendarah daging, ya?"

Dengan polosnya ia menggangguk. "Frekuensi kepolosan gue, kan, emang gitu."

Gisya mendengus. "Bodo amat Nath. Intinya besok malam lo harus datang, ya?"

Natha mengernyit bingung. "Besok malam ada apa?"

Gisya menggerang frustrasi. "Besok, kan, renungan malam. Setiap siswa wajib datang jam sepuluh malam bawa satu lilin sebagai penerangnya." Ia menatap Natha dengan raut wajah menakuti-nakuti, "keliling sekolah saat malam hari, mencari satu buah petromak yang di dalamnya terdapat tiket bebas lolos ujian tanpa memikirkan soal-soal yang sialnya hanya ada beberapa itu seketika menghilangkan rasa takut para murid."

Ia berdehem menyetujui. "Emang benar, sih. Ujian lebih menakutkan daripada lihat setan," ujarnya.

Sekolah ini memang memiliki sistem yang unik dan berbeda dari sekolah lain. Pada saat ujian akan berlangsung beberapa hari sebelumnya. Sekolah akan mengadakan renungan malam di mana acara ini bertujuan untuk memberi kesenangan pada murid yng berhasil menemukan beberapa petromak yang tersebar di seluruh penjuru sekolah.

Petromak itu sendiri berisi tiket bebas ujian di mana murid yang mendapatkan tiket itu dinyatakan lulus atau naik kelas tanpa mengikuti ujian dengan nilai hampir sempurna. Impian semua murid bukan?

Bukan hanya itu, meski tantangan yang terlihat sangat mudah yakni mengambil petromak pada saat tengah malam, banyak hal lain yang murid dapatkan. Seperti pengalaman bertemu dengan beberapa makhluk astral atau yang paling parah terkunci dalam dunia mereka.

Keluar masuk dunia mereka bukanlah hal yang mudah. Meski ia anak indigo tetapi banyak pantangan dan juga hal-hal yang harus ia penuhi demi menyelamatkan satu nyawa.

"Lo dapat nomor urut, berapa?" tanyanya pada Gisya yang sibuk menonton MV EXO boyband Korea kegemarannya.

"Dua puluh satu. Lo?"

"Tiga belas." Jawaban Natha membuat ia mengalihkan pandangamnya dengan cepat. Menatap gadis itu tak percaya.

"Beneran." Ia menggangguk," lo tahu, kan? Angka tiga belas itu angka keramat. Sejak dulu banyak murid yang lebih milih menghindar atau gak datang saat mendapatkan angka urutan nomor tiga belas."

"Itu mitos, jangan percaya."

"Sudah menjadi ciri khas warga kita, bukan? Mau mitos atau apa pun itu sudah menjadi kepercayaan.

Ia menggangguk membenarkan perkataan Gisya. "Memang, sih. Tapi, banyak juga yang gak mudah percaya mitos-"

"Kalau dia gak ngalamin sendiri. Kayak lo, misalnya." Potongnya cepat.

Natha menggangguk. "Gue emang tipe orang yang akan percaya kalau kejadian itu terjadi sama diri gue sendiri, sih."

Kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda membuat Natha bernapas panjang. Ia mendongak menatap langsung mata merah menyala makhluk yang tak dapat dilihat orang biasa. Wajahnya tampak hancur dengan setengah bagian tubuh yang terbalik. Merangkak mengitari langit-langit kelas dengan darah yang menetes membasahi meja setiap siswa.

Mengalihkan pandangan ke arah jendela ia justru dibuat teekejut saat matanya menatap gadis yang setengah wajahnya hancur. Tak ingin terlalu banyak memikirkan apa penyebabnya ia memilih menelungkupkan kepalanya di antara lipatan tangan saat gadis itu mulai mengirimkan siluet kisahnya.

=IndigoLove=

Duduk di kursi taman sendirian ditemani embusan angin dan kilauan jingga membuatnya merasa tenang. Tatapannya lurus pada bocah laki-laki yang duduk termenung menatap jernihnya air. Ia terlihat begitu kesepian. Mengalihkan pandanga menatap kain putih yang menjuntai dari atas pohon dengan wajah yang ditutupi rambut hitam menjutai panjang. Tak ingin menampakkan wajahnya atau tak pede dengan wajahnya? Entah. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

Baru saja sedetik memejamkan matanya ia dibuat terkejut. Membuatnya spontan membuka padanya, menatap wajah pria yang lumayan eum ... tampan menurut Natha.

"Arghh! Seram gak, gue?" ujarnya memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat.

Bukannya terkejut karena kelakuan hantu itu. Ia memutar bola matanya malas, terlalu biasa melihat hal seperti ini, ia butuh hal yang lebih ekstrem dari sekadar putaran kepala bak burung hantu.

"Pergi deh." Usirnya, kesal juga lama-lama melihat wajah itu.

Dengan sekali sentakan ia menghilang membuat Natha menatap sekeliling dan menemukan pria aneh berwujud bukan human yang sialnya tampan itu sedang bermain dengan bocah laki-laki di seberang danau.

Terkadang kita tak bisa membantu mereka sepenuhnya meski memiliki niat untuk membantu. Berusaha sekuat apa pun juga tak bisa jika Sang Kuasa tidak memberi jalan.

Derajat kita juga jauh berbeda, tak perlu takut karena kita jauh di atas mereka.

=IndigoLove=

INDIGO LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang