IL 02 - Hantu Juga Tampan

349 40 0
                                    

Setampan-tampannya manusia
Dia gak pernah bisa rasakan,
Gimana jahil tanpa ketahuan.

=IndigoLove=

Masih di tempat yang sama ia duduk bersandar dengan mata terpejam. Sendirian, ah, tidak. Di keramaian ini meski bukan manusia tetapi, banyak yang melewatinya. Ia tak takut, untuk apa takut jika mereka hanya bisa menakuti. Prinsipnya seperti ini, kalau dia menakutimu, ya, takuti saja balik. Se-simple itu, man.

Pertama, jernihkan otak kalian dari pikiran negatif. Mereka itu licik, akan menjadi hal yang seram saat kita memikirkan bayangan seram padahal, aslinya mereka tak seseram itu.

Kedua, jangan lupakan Tuhan. Membaca doa misalnya, atau abaikan saja mereka. Mereka itu sama seperti kita, bisa mendengar dan melihat apa yang kita lakukan. Tetapi, kita tak bisa melihat dan mendengar mereka secara langsung.

Suara deheman membangunkannya dari lamunan ia menengok ke samping. Masih hantu yang sama, pikirnya.

Ia memakai seragam sekolah yang penuh darah dibagian dada dan perut, wajahnya terlihat pucat meski terbilang cukup tampan. Ah, bahkan tak ada hantu yang setampan dia menurut Natha.

"Kenapa?"

"Lo bisa lihat gue 'kan?" Ia menggangguk malas.

Pria itu tersenyum girang kemudian menjulurkan tangannya untuk berkenalan. "Gue  Dilan."

"Hantu juga punya nama?" tanyanya penasaran. Ya, selama ini ia hanya bertemu beberapa hantu tanpa mengobrol sedekat ini. Ia hanya memperhatikan dari jauh tanpa mau ikut campur urusan mereka lebih jauh.

"Ada. Hampir semua makhluk memiliki nama masing-masing, Parjo, Paijo, Sarimin, Sujimin, dan kawan-kawan."

"Lo ngarang, ya?" Natha menunjuk wajah pria di hadapannya dengan tatapan sinis.

Ia menggangguk, menggaruk tengkuknya yang tak gatal kemudian tanpa permisi duduk di sampingnya.

Hening, hanya embusan angin malam yang sedang menggoyangkan beberapa pohon sehingga menimbulkan suara gesekan ranting. Meski terlihat ramai, mereka sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing tanpa perduli ada apa di sekita mereka.

Sebagian berterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Mengintip dari balik batang, ada juga yang menceburkan dirinya ke danau. Tak jarang beberapa dari mereka ingin mengetahui apa yang Dilan dan Natha bicarakan sehingga memilih untuk menguping.

"Lo lihat anak kecil di sana?" Ia menggangguk.

"Dia korban pembunuhan oleh keluarganya sendiri. Setelah di siksa bocah itu dimasukkan ke dalam karung kemudian di tenggelamkan di danau ini. Lo lihat, kan, ada beberapa memar di tubuhnya bahkan darah segar masih mengalir di kepalanya," jelasnya.

"Kok lo, tahu?"

"Gue dengar cerita dia. Dia ingin kembali, katanya ’mau ketemu ibu di surga, ayah jahat’ gue kasihan."

"Gue juga," sahutnya.

Natha melihat jam di tangannya, hari semakin gelap sehingga gadis itu memilih berdiri mengundang tatapan tanya dari Dilan.

"Gue balik dulu," pamitnya membuat Dilan ikut berdiri.

"Lo mau, ke mana?"

"Ikut lo."

Eh, Natha memandang Dilan terkejut. "Gue gak mau diikutin hantu, dan gue gak tahu apa motivasi lo ngajak gue kenalan. Mending lo cari tempat lain, deh. Ingat! Jangan ikutin gue," jelasnya menekan semua kalimat sebelum berjalan menjauh dari pria tersebut.

Dilan tersenyum tipis. "Meski lo menolak, gue akan tetap mengikuti lo. Karena, lo itu rumah bagi gue."

=IndigoLove=

"

Hewan ... hewan apa yang huruf awalnya, G?"

"Gajah."

"Kalau S?"

"Satu gajah."

"Depannya, P?"

"Pasti gajah."

"Kalau D-d? Ah, gak usah dijawab, lah.  Pasti kamu mau jawab dua gajah 'kan?"

"Dih, geer, orang aku mau jawab domba, wleee."

"Mati aja deh, kamu!"

"Masa hantu mati dua kali, sih?"

"Terserah! Kesel aku sama kamu yang kelewat bodoh."

"Aku juga kesel sama diriku sendiri."

Natha tertawa terbahak-bahak melihat interaksi dua suara ini. Ia tak dapat melihat wajah mereka tetapi, mendengar dengan baik suara yang saling bersahutan.

Kenapa mereka tak membuat stand up comedy hantu, saja? Mungkin akan terdengar lucu dan bisa menghibur sesama hantu biar kehidupan mereka tidak terlalu flat.

Menguap lebar, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Menaikan selimut hingga sebatas dada, menghiraukan keramaian di kamarnya. Bahkan suara langkah kaki yang berlarian di lantai tak membuatnya terganggu. Kantuk sudah mulai datang hingga membuat matanya memberat. Beberpa kali menarik napas gadis itu dengan mudah sudah tertidur pulas.

Di samping ranjangnya. Pria dengan senyum tipis berdiri memandamg wajah gadis itu. Ia beralih menatap kalung yang dikenakannya. Kalung itu miliknya yang tak sengaja ia jatuhkan saat kejadian di hari kematiannya.

Ia sudah menjaga kalung pemberian ayahnya sejak kecil ah, bahkan sejak hidup hingga seperti ini. Dan sekarang ia harus menjaga gadis ini juga. Berterima kasih karena sudah memiliki niat untuk menjaga kalung berbandul perluru itu.

Tangannya menyentuh bandul itu pelan agar tak membangunkan tidur lelap gadis itu. Mengingat kenangan manis semasa hidupnya dan kenangan pahit saat ia meninggal karena kenakalannya sebagai remaja. Tangannya beralih mengusap rambut gadis itu. Memperhatikan setiap lekuka wajahnya.

Tak ada raut ketakutan di wajah gadis itu saat menatap dirinya ataupun makhluk lain. Ia bisa menyesuaikan diri sesuai situasi dan kondisi.

"Terima kasih, dan maaf, gue akan selalu berada di samping lo, selama lo masih memakai kalung milik gue."

Menghilang setelah menatap wajah lelah gadis yang sedang tertidur lelap itu. Ia akan kembali esok hari dan menemani hari-hari Natha seperti beberapa hari ini ia lakukan.

=IndigoLove=

INDIGO LOVE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang