"MORNING, LADY DAI!"

205 17 1
                                    

Aku menelepon Rina. Tercatat Lima belas panggilan tidak terjawab sepagi ini darinya. Baiklah menjelang siang, karena jam sudah menunjukkan pukul 09:15. Rina sampai meneleponku seperti teroris pastilah ada sesuatu yang mendesak.

Aku membiarkan dia mengomel tentang dimana posisiku sekarang dan kenapa batang hidungku belum juga kelihatan. Ada rapat penting hari ini dan dia tidak bisa menghadapi rapat ini sendirian, ah sebenarnya dia tidak sendirian. Dari tujuh orang dalam tim, hanya aku yang belum datang.

Aku menguap. Rasa kantuk ini benar-benar tidak mau pergi.

"Cool your jets, oke!" Kataku santai. "Semua materi udah gue kirim di grup kan? lo tinggal duduk manis dengerin presentasi mereka. Tandain yang menurut lo penting, tanyain hal-hal yang menurut lo membingungkan. Gue mungkin nyampe sekitar-" aku melirik ke arah jam dinding lalu melanjutkan. "jam setengah sebelasan."

Aku menjelaskan sambil menyeret kaki dari tempat tidur menuju ke kamar mandi dengan enggan.

"Diana!" Pekik Rina dari ujung sana. "Ada perubahan rencana. Perusahaan yang seharusnya presentasi hari ini minta diundur jadwalnya, gue nggak tau kenapa. Dan sialnya pak Sony setuju."

Aku menghentikan gerakan tanganku membuka pintu kamar mandi. "Kok dadakan?"

"Gue nggak tau, pokoknya lo cepet kesini karena rapatnya setengah jam lagi. Gue bisa mati kutu kalo nggak ada lo."

Suara Rina jelas terdengar panik.

"Perusahaan mana yang presentasi?"

Rina menyebutkan sebuah perusahaan raksasa teknologi yang namanya sudah tidak asing lagi di telinga, yang mana kredibilitasnya sudah tidak perlu diragukan lagi.

"Bukannya mereka seharusnya minggu depan?"

"Au ah, dark!" Rina terdengar kesal. "Lo buruan dateng, please!"

Sedetik kemudian terdengar suara seseorang yang bertanya padanya.

"Diana belum datang?"

Itu suara pak Sony. Orang yang nantinya bertanggung jawab terhadap proyek pekerjaan yang persiapannya sedang dikerjakan oleh timku.

"Mm, nganu- kucing tetangganya mati, Pak."

Rina mencoba berasalan. Aku sebenarnya ingin membantah tapi itu tidak mungkin jadi kubiarkan saja.

"Hubungannya dengan dia terlambat datang?"

"Melayat pak, yah- melayat."

Aku menahan tawa. Jawaban Rina sama sekali tidak meyakinkan, mana mungkin Pak Sony akan percaya. Lagipula pak Sony sudah tahu alasan kenapa aku izin masuk siang hari ini.

"Yasudah, kamu siap-siap."

"Siap pak."

Rina mengiyakan. Lalu kembali berbicara padaku dua detik kemudian.

"Lo denger?" Tanyanya. "Pokoknya lo harus cepet ke kantor."

"ALvin udah tau?"

"Kayaknya belum. Handpohone nya nggak bisa dihubungi. Gue samperin ke bawah nggak ada."

Aku mengangguk-angguk. Setelah berjanji pada Rina untuk datang sesegera mungkin, aku segera bersiap-siap. Tepat pada saat aku akan memesan ojek online, sesuatu menarik perhatianku. Aku yang saat itu tengah berdiri di depan pintu apartemen melihat seorang perempuan yang sedang menangis. Perempuan itu duduk di lantai sambil tengannya menggendong sesuatu. Aku berjalan mendekatinya.

"Helen?"

Aku mengenalnya sebagai Helen. Tetanggaku yang cukup ramah. Kami sering bertemu di lift dan mengobrol tentang hal-hal kecil meskipun tidak terlalu akrab dan beberapa kali bertukar oleh-oleh saat kami baru kembali dari mudik.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang