PEMANDU SPIRITUAL

169 17 0
                                    

Aku sedang duduk menjeplak di lantai ruang pusat data yang dingin melakukan pengujian terhadap beberapa sistem yang akan launching dalam beberapa hari ke depan saat sekuriti penjaga ruang pusat data muncul di ujung lorong dan berkata.

"Izin mbak, ada telepon untuk mbak Dian."

Tanpa berpikir panjang aku langsung berdiri dan berjalan ke luar menuju meja sekuriti dimana telepon berada.

"Halo?"

"Halo, Diana," kata suara seorang laki-laki di ujung sana. Pak Sony.

"Siap, pak."

"Kamu lagi ngerjain apa?"

"Izin pak, saya sedang ada kerjaan di ruang pusat data."

"Pantas aku telepon ke HPmu nggak diangkat."

"Maaf pak, HP saya di meja jadi-"

"Nggak masalah, tadinya aku ingin kamu dan Alvin mewakiliku rapat di luar. Tapi kayaknya kamu lagi nggak bisa diganggu, jadi aku mencari penggantimu saja kalau gitu."

Aku langsung bernapas lega mendengarnya. Sekuriti sampai menatapku dengan heran karena mungkin melihatku bereaksi terlalu berlebihan.

"Izin pak, mungkin Rina bisa menemani Alvin pak."

"Ide bagus." kata pak Sony menyetujui gagasanku. "Yasudah lanjutkan pekerjaanmu, maaf sudah mengganggu waktumu."

"Oh, tidak sama sekali pak." Sahutku cepat. Basa-basi saja.

"Bener? Kapan selesainya?"

"Mungkin sebelum istirahat pak."

"Sempurna. Berarti kamu bisa menggantikan Rina ketemu Christopher siang ini."

Aku mengerjap terkejut. "Tunggu, izin pak..."

"Kuhubungi Christopher dan menyuruhnya menghubungimu. Terimakasih Diana, kamu selalu bisa diandalkan."

"Tunggu sebentar, halo pak... "

Aku melongo menatap gagang telepon di tanganku. Aku tidak percaya ini, pak Sony membajak waktu istirahatku entah untuk yang ke berapa kalinya. Jika ada yang bilang aku workaholik, salahkan beliau. Beliau yang telah membuatku seperti ini. Aku meletakkan gagang telepon pada tempatnya dengan tenaga dua kali lebih besar dari yang diperlukan sambil menggeram sampai-sampai membuat sekuriti tersentak dan bertanya.

"Mbak Dian nggak papa?"

Aku menegakkan tubuh dan memaksakan sebuah senyum.

"Nggak papa."

Meskipun sebenarnya yang kurasakan sebaliknya dan seharusnya dia tidak perlu bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. You can see all that shit over my face.

"Diana, tenangkan dirimu. Hari ini pasti akan berlalu."

Aku mendengar suara Rossie yang duduk di meja kerjanya yang terletak tepat di depanku. Suara nut-nut keyboard yang ditekan terdengar bersahutan dengan cepat, pertanda dia juga sedang dikejar oleh sesuatu.

"Gue nggak ngerti, memangnya di ruangan ini cuma ada gue aja? Gue udah tiga jam hampir beku di data center dan tibalah waktu istirahat yang gue tunggu-tunggu tapi malah dibajak. Am I machine without feeling?!" gerutuku kesal.

"Diana, you're very strong independent woman. Lo nggak akan menyerah semudah itu kan?"

Aku mendesah lesu. Seandainya saja aku bisa setenang Rossie. Aku selalu takjub padanya karena dia selalu bisa melewati segala hal dengan tenang dan pikiran positif. Aku sudah mencobanya dengan melakukan semua tips dan trik yang dia berikan, meditasi, yoga, latihan pernapasan tapi semuanya tidak membantu.

Saat itu tiba-tiba ponselku berdenting. Satu pesan masuk.

"I'm outside. Come on out."

Aku menarik napas panjang untuk menguatkan diri sendiri. "Baiklah, waktunya sudah tiba."

***

"Diana, I'm sorry for calling you this late."

Wajah Jimmy langsung memenuhi layar ponselku begitu panggilan vidoenya kujawab.

"Bukankah itu yang selalu kalian lakukan?" komentarku dengan nada sinis yang dibuat-buat sembari membuka bungkusan nasi padang yang entah sudah jadi apa rasanya. Office boy di kantorku yang membelinya tadi siang dan ketika meeting dengan Chris ternyata di sebuah kafe yang tidak menyediakan makanan yang cocok untuk makan siang, jadi aku hanya memesan kopi. Dan apesnya ada pekerjaan bertubi-tubi setelahnya yang tidak bisa kuhindari walau hanya sebentar untuk sekedar makan. Untung saja aku tidak pingsan karena belum makan seharian.

Aku mendengar dia terkekeh dari sana.

"Aku sudah mendengar tentang Chris. Aku baru tahu kalau dia dipindahkan ke Indonesia. Jadi kuharap kamu bisa membantuku menjaganya selama disana."

"Jimmy, adikmu sudah dewasa, dia bisa menjaga dirinya sendiri." kataku ringan sambil berjalan ke arah dapur.

"Diana benar." kudengar Hannah menyahut menyetujui pendapatku meskipun aku tidak melihat wajahnya. "Jadi berhenti memanjakan Chris. Dia harus bisa hidup tanpa campur tanganmu."

Aku tidak mengerti apa yang Hannah katakan. Tapi, ya kurasa aku juga setuju dengan pendapatnya.

"You know I can't, honey."

Baiklah sekarang mau tidak mau aku harus mendengarkan mereka berdebat mesra di ujung sana. Duduk sendirian sambil makan nasi padang jam sebelas malam sembari menonton sinetron percintaan, perfect!

"Yes, you can!"

"He is alone out there, no relatives, no families, Diana is the only one I can rely on."

"No honey, he is with all those people. Let him living his life."

Mereka benar-benar sudah melupakanku.

"Am I wrong?"

"Nothing wrong with you honey. But you're too much. You call him fifteen times a day which is not necesarry. As your wife, you don't even ever call me that much." Hanna memprotes.

"You're right here besides me. Why do I have to have words with you by phone?"

Mereka berdua benar-benar sudah tidak punya rasa perikemanusiaan.

"I know you don't care what I said but this is me here and still alive." Aku menyela. Kalau tidak begitu, sampai pagi aku akan mendengar mereka terus berdebat.

"I'm sorry Diana, of course I do care what you said as much as you would care about what I'm gonna say. Tolong jangan dengarkan istriku kali ini. I must beg you to be his spirit guide when it's necessary."

"Apa aku bisa menolak permintaanmu kali ini?"

"Tentu saja tidak."

Sudah kuduga. Aku bisa mendengar suara Hannah yang lagi-lagi menggerutu tidak setuju dengan suaminya. Lalu suara Jimmy yang berargumen bahwa apa yang dilakukannya kepada adiknya tidak berlebihan sama sekali. Buktinya karena suatu hal dia tidak bisa menghubungi adiknya selama dua hari dan tahu-tahu adiknya sudah berada di Indonesia tanpa sepengetahuannya.

"Good night." kataku kemudian saat mereka masih berdebat. Aku cukup yakin mereka tidak menyadari apa yang kuucapkan jadi tanpa menunggu jawaban dari mereka, tangan kiriku terulur menyentuh tombol merah di ponsel dan melanjutkan makan. Tepatnya rapelan sarapan, makan siang dan makan malam yang digabung jadi satu.

***

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang