Pada zaman dahulu kala...
"Akhirnya lo jawab juga,"
Suara Alvin langsung menerjang gendang telingaku bahkan sebelum aku benar-benar menempelkan ponsel ke telinga. Kalau aku tidak salah menghitung, sudah sepuluh kali ponselku berdering selama empat puluh lima menit aku di dalam busway. Dari nada deringnya, dapat dipastikan kesepuluhnya adalah telepon darinya. Pertanyaannya adalah ada apakah gerangan dia meneleponku seperti orang tidak sabaran di sabtu pagi begini (khusus untuk Alvin pukul sepuluh siang di hari Sabtu dan Minggu aku menyebutnya pagi, karena dia sering protes ketika aku memintanya untuk menemani ke suatu tempat pada jam segitu dia akan selalu bilang "Gila lo ya, cuma orang gila yang udah bangun di pagi buta di hari libur. Ogah ah!") dimana biasanya dia masih mendengkur mengukir pulau membuat anak sungai merajut mimpi. Sebenarnya aku yang sengaja tidak mengangkat ponselku saat berada di dalam busway, bukan karena Alvin yang menelepon, hanya saja aku tidak suka berbicara di telepon di dalam transportasi publik apapun alasannya.
"Lo lagi dimana?" tanyanya dengan nada cemas lima detik kemudian bahkan sebelum aku sempat bilang halo.
"Di Tosari baru turun dari busway, ada apa lo nelepon gue pagi-pagi begini?"
Tanyaku sambil menempelkan kartu busway ke atas gate untuk keluar dari halte.
"Lo jadi ketemuan sama cowok itu?"
Kudengar nada suara Alvin semakin meninggi. Aku menghela napas. Jadi dia nelepon gue sepuluh kali tanpa jeda itu hanya untuk menanyakan ini? Perlu diketahui seharian kemarin aku berdebat dengan Alvin tentang rencanaku menemui seorang laki-laki yang bisa dibilang teman lama. Sebenarnya bukan teman juga, aku tidak cukup mengenalnya ketika SMA hanya sekedar tahu karena dia populer di sekolah dan aku cukup yakin dia sama sekali tidak mengenalku. Alasannya sederhana, aku IPA dia IPS. Agak kaget juga dia tiba-tiba menghubungiku beberapa hari yang lalu, basa-basi menanyakan kabar dan akhirnya mengajak untuk bertemu karena entah bagaimana caranya dia mempunyai sesuatu yang katanya titipan dari ibuku untukku.
Sebelum aku bertanya, dia sedikit menjelaskan kenapa barang titipan ibu ada padanya, bahwa ternyata ibuku dan ibunya saling mengenal, belum lama sebenarnya, baru beberapa bulan. Mereka bertemu di acara pengajian yang rutin diadakan setiap bulan yang dilaksanakan berbeda-beda tempat setiap bulannya. Saat mengetahui kalau aku dan anaknya itu pernah satu sekolah mereka lalu dekat dengan sendirinya. Dan saat aku menceritakan hal ini pada Alvin, dia langsung bereaksi yang menurutku berlebihan.
"Gue rasa itu cuma alasan." Kata Alvin sambil mendorong semangkuk bubur ayam yang baru diberikan oleh abang tukang bubur itu ke arahku, sehari sebelumnya. "Gue yakin nyokap lo dan temannya itu berkomplot ingin menjodohkan lo sama dia."
Aku mengangkat kedua alisku. "Masa sih?"
"Lo itu polos apa bego sih?" dia menyendokkan bubur ke mulutnya. Sementara aku merengut dikatain bego.
"Temen lo itu siapa namanya tadi?"
"Dimas." Aku menyahut cepat.
"Si Dimas udah merit belom?"
Aku menggeleng. Bukan sedang menebak atau sok tau, dia sempat menanyakan padaku apakah dia perlu izin kepada seseorang untuk menemuiku lalu ketika aku bilang tidak ada yang perlu dimintai izin dia tanpa kutanya memberi tahu kalo dia juga belum menikah.
"Gue kasih tau elo ya." Alvin memperbaiki posisi duduknya. "Dua orang ibu-ibu dengan anak usia mendekati 30-an dan belum ada tanda-tanda akan merit, kalo ketemu yang diobrolin pasti tentang menjodohkan anak. Percaya deh sama gue!"
Aku reflek melempar sebiji kacang kedele kearahnya demi mendengar ada nada meledek saat Alvin mengatakan kalimat belum ada tanda-tanda akan merit, tapi mental dan malah masuk ke mangkuk bubur ayam pelanggan lain yang kebetulan duduk di sebelahnya. Sempat bersiap-siap untuk meminta maaf tapi sepertinya yang punya bubur sedang asik dengan ponselnya jadi tidak menyadari ada sebiji kacang kedelai yang secara ilegal masuk ke mangkuknya, jadi kuurungkan niat baikku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...