Aku sedang berjalan menuju pintu keluar Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai Bali saat ponsel yang berada di dalam tas selempang kecilku berbunyi. Aku merogoh tas tanpa menghentikan langkahku dan melihat layar. Made menelepon. Aku mengernyitkan keningku.
"Halo mbak Didi, izin posisi dimana mbak?"
Tanya Made tanpa basa basi saat aku menempelkan ponsel di telinga. Aku sudah mengenal Made kurang lebih tiga tahun, dia adalah orang yang pertama kali memanggilku Didi karena namaku sama dengan nama mantan pacarnya, jadi supaya tidak bring back all the bad memories saat menyebut namaku, maka dia memanggilku Didi. Alhasil hampir semua teman yang kukenal di Bali memanggilku Didi. Aku sama sekali tidak keberatan jika itu membuat orang yang memanggilnya lebih nyaman.
"Baru keluar bandara, kenapa Bli?"
Tanyaku ingin tau. Aku bertanya-tanya ini hanya kebetulan atau Made memang sudah tau kalau aku sedang berada di Bali. Oh iya Made ini supir pribadi temanku yang kebetulan saat ini sedang bertugas di salah satu kantor cabang di Ngurah Rai. Namanya Andre, dulu dia, aku dan Alvin satu geng sewaktu kami masih sama-sama bertugas di Jakarta. Dua tahun lalu dia mendapatkan promosi dan menduduki jabatan yang cukup penting dengan belasan staf di bawahnya.
"Siap mbak, aku tunggu di Solaria ya mbak?"
Nah kan, benar sekali dugaanku dia sudah tau kalau aku di Bali. Pelaku utamanya sudah pasti Andre.
"Oke Bli."
Aku menutup sambungan telepon. menyentuh beberapa tombol dan kembali menempelkan ke telinga.
"Hei Tarigan, lo lagi nggak ada kerjaan apa sampek ngecekin manifes penumpang?"
Aku bertanya dengan nada nyinyir pada Andre begitu telepon dijawab. Oh iya jika bukan urusan pekerjaan, aku sering memanggil Andre dengan nama marganya. Tidak ada alasan khusus dan tidak bermaksud rasis atau hal negatif lainnya. Tercetus begitu saja dan keterusan sampai sekarang.
Aku bisa mendengar Andre terkekeh di seberang sana.
"Tadinya gue mau nyuruh anak buah gue buat nari kecak buat nyambut lo, tapi gue yakin pasti lo bakalan mencak-mencak dan bikin heboh seluruh bandara."
Katanya seolah bisa menebak ada apa gerangan aku meneleponnya, pasti dia sudah tahu aku hendak memprotesnya karena telah mengirim Made untuk menjemputku tanpa memberitahuku lebih dulu. Disamping aku tidak suka merepotkan orang, kedatanganku ke Bali bukan dalam rangka kedinasan melainkan kondangan. Dan Andre tau itu, karena kami akan sama-sama menghadiri resepsi pernikahan anak salah satu pejabat tinggi di instansi kami. Jadi, menggunakan fasilitas negara untuk urusan pribadi bukanlah hal yang dibenarkan.
"Made bawa mobil pribadi kok, jadi tenang aja nggak ada melibatkan uang negara sepeserpun dalam urusan ini."
Dia menambahkan untuk meyakinkanku karena dia tahu persis aku pasti akan protes mengenai hal itu.
"Gue kan nggak mau ngerepotin elo, utang budi sama elo repot ujungnya."
Andre tertawa, mengerti maksud dari kata utang budi yang aku bicarakan.
"Jadi lo mau gue suruh Made balik kanan nih?"
Tanyanya kemudian. Tentu saja dia tidak serius dengan pertanyaannya, dia tidak akan benar-benar menyuruh Made balik kanan meskipun aku memohon dengan sembah sujud di kakinya. Namun jika ditanya apakah aku akan sembah sujud di kakinya? tentu saja tidak, untuk alasan apapun.
"Telaatt." Jawabku dengan nada sedikit keras.
Tepat setelah itu aku melihat Made sedang melambaikan tangannya di seberang jalan. Aku balas melambaikan tangan padanya lalu berhenti sejenak menunggu petugas keamanan yang sedang mengatur lalu lintas kendaraan mempersilakan kami untuk menyeberang.
"Biar pahala lo tambah banyak, gue pinjem Made dua hari ya, Bye!" kataku cepat lalu langsung memutus sambungan telepon tanpa menunggu persetujuannya.
Begitu petugas keamanan memberi tanda bahwa kami sudah bisa menyeberang, aku segera berjalan setengah lari menghampiri tempat dimana Made berada.
"Hai mbak Didi apa kabar?" Tanyanya dengan logat Bali yang kental sembari mengulurkan tangannya bersalaman denganku lalu segera mengambil alih koper berukuran 28 inci dari tanganku tanpa kuminta.
"Baik Bli, Ayu gimana keadaannya sekarang?" tanyaku sambil mengikuti Made di belakangnya. Ayu adalah adiknya, dua bulan yang lalu mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak bisa berjalan.
"Sudah jauh lebih baik mbak, tapi masih harus rawat jalan dan terapi dua minggu sekali."
Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
"Syukurlah kalau begitu."
Saat hampir memasuki pintu masuk gedung parkir. Tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Bli!" aku berseru memanggil Made yang berjalan di depanku. Made berhenti dan membalikan badannya. "Bisa nunggu sejam lagi nggak disini?"
***
Chris menghubungiku tiga hari yang lalu saat aku masih berada di Singapura. Menanyakan padaku perihal tradisi hajatan di Indonesia. Rupanya dia diminta mewakili kantornya untuk datang di acara resepsi pernikahan yang ternyata acara yang sama yang akan kudatangi sekarang. Dia berdecak takjub saat kujelaskan bahwa ada ratusan tradisi hajatan di Indonesia. Selain fotografi dia juga punya ketertarikan dengan sejarah seni. Aku ingat sekali beberapa waktu lalu saat kutemani mengunjungi Museum Nasional Indonesia, dia bahkan paham di luar kepala tentang jalur sutera, jalur poselen, menebak sejarah potongan artefak yang ia lihat disana memiliki hubungan dengan potongan artefak yang pernah ia lihat di beberapa tempat yang pernah ia kunjungi. Aku tidak pernah bisa mengerti hal-hal seperti itu, bahkan sejarah Indonesia aku tidak khatam maka aku hanya mengangguk-angguk saja saat dia bercerita dengan antusiasnya.
Karena itulah kemarin saat baru tiba di Bali, dia ngotot untuk mencari pakaian adat Bali untuk dia pakai ke kondangan. Aku sudah menjelaskan padanya bahwa tidak ada aturan pakaian khusus untuk tamu undangan, tidak perlu memakai pakaian adat yang penting sopan dan sesuai dengan konteks acaranya. Akan tetapi dia kekeh untuk mengenakan pakaian adat Bali, alhasil lebih dari tiga jam dihabiskan untuk keliling mencari apa yang diinginkannya. Padahal aku sedang sangat lelah, aku baru saja menempuh perjalanan dari Singapura. Sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perjalanan dari Jakarta, hanya saja aku belum sempat benar-benar beristirahat. Untuk itu, aku sengaja mengambil penerbangan lebih awal dan langsung ke Bali agar bisa beristirahat lebih lama disini. Akan tetapi kenyataan berkata lain, Chris selalu berada di luar dugaanku. Selalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...