Lilith

15 5 2
                                    

Oleh : · Me_Azzafa

Room Genre : TEEN FICTION

Tema : Midnight

========

Melarang ibu tersenyum lebar bukan berarti aku durhaka. Ada alasannya.

Semuanya terjadi sejak sebulan terakhir.

Aku mendadak sering salah lihat setiap kali hendak tidur. Atau melamun di kamar mandi, lalu ketika sadar semua barang di kamar mandi sudah berserakan tanpa kusentuh. Sering juga suara aneh memanggilku tanpa henti.

Tidak jelas apakah suara pria, gadis muda, nenek renta, anak kecil, atau lengkingan kaset rusak, yang pasti suara-suara itu memanggilku ibu. Banyak tangan memelukku dan aku di ambang batas hidup dan mati. Ditambah dengan seorang wanita mahacantik yang tubuhnya berpendar. Dia tersenyum.

Bukan senyum yang menyenangkan, justru menakutkan.

Itulah kenapa aku melarang ibu tersenyum lebar di depanku—karena aku takut.

Aku menceritakan ini kepada nenek, dan nenek meyakini bahwa semua itu ada hubungannya dengan namaku yang punya legenda gelap.

Lilith. Namaku Lilith.

Namun, ibu—sebagai pemberi nama serta wanita terlogis di rumah—tidak percaya. Malah tanpa segan menyuruhku pergi ke psikiater yang jaraknya lima langkah dari rumah.

Psikiater, ya. Bukan pacar.

Itu, sih, lagu.

"Ini jam berapa, hah?" Anak psikiater, Rendra, mendesis keras karena aku muncul nyaris di tengah malam. "Kenapa bisa-bisanya datang saat aku sedang sendirian di rumah?"

Ingin kujawab, Wah, kita jodoh! tapi situasinya tidak tepat.

"Aku ditinggal sendirian di rumah. Orang tuaku pergi, baru pulang besok," kataku dengan gerakan tidak nyaman. "Dan aku menstruasi. Hari pertama. Ibumu sendiri yang bilang kalau kondisi begini cukup rentan."

Rendra menipiskan bibir seolah menahan diri untuk tidak memijat kening. "Masuk dulu."

"Oke—eh, darahku tidak merembes ke celana, 'kan? Tadi aku memanjat tembok. Aku takut bocor—"

Kali ini Rendra sungguhan memijat kening. "Lilith," tegurnya.

"Oh, oke. Maaf."

Aku dan Rendra tidak saling mengenal sampai suatu hari ibu menyeretku ke dalam rumahnya dan melapor kepada ibunya, sang psikiater, tentang aku yang melempar piring tanpa menyentuhnya. Sejak ibu menyuruhku untuk rutin mengunjungi psikiater, secara otomatis aku sering bertemu dengannya.

"Kenapa kamu ditinggal sendiri bahkan saat mereka tahu mentalmu begini? Aneh," gumam Rendra seraya memberiku isyarat untuk duduk di sofa tamu. "Akan kubuatkan teh. Diam di sana."

Keningku berkerut. "Aku tidak suka sendirian di sini."

"Kenapa?" Rendra melirikku yang tengah berjuang duduk ekstra hati-hati—aku takut bocor!—di atas sofa empuknya. "Takut kesurupan?"

Kehati-hatianku terjeda. Rendra diam menunggu. Kami bertatapan. Detak jam dinding yang berada agak jauh dari kami terdengar lebih jelas dari biasanya. Bahkan desiran angin pun mendadak bisa kudengar.

Inilah yang terjadi ketika canggung dan ngeri teraduk menjadi satu.

"Rendra."

OCTOBER EVENT GEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang