Gadis Kecil di Tengah Desa

16 3 0
                                    

Oleh : Nuzulul Laelatul Ezzah

Room Genre : FANTASY

Tema : Screaming Halloween

========

Di sebuah desa kecil, berkembanglah kisah-kisah mengerikan yang membuat pintu dan jendela rumahnya senantiasa tertutup tiap senja menjelang. Dari semua dongeng itu, yang paling menyeramkan adalah yang bakda isya ini terdengar. Malam ini, kami anak-anak badung nekat pergi ke rumah rofik selaku pengantar cerita. Di sesi dongeng kali ini, dia bilang akan ada kunjungan dari dunia lain malam ini. Dia tahu itu dari kakeknya yang suka meracau sendiri. Kami sebagai pendengar antara percaya dan tidak.

Rofik bercerita kalau setan, iblis atau apalah itu, akan menengok rumah terbesar yang terletak di tengah desa. Bangunan kosong itu terbuat dari batu bata dan semen, tidak dari kayu seperti umumnya disini. Meski begitu, rumah itu adalah yang paling suram di sini. Pagar hitam di sekelilingnya lebat oleh tanaman rambat. Aku sebenarnya tidak akan secemas ini seandainya aku tidak harus melewati rumah itu untuk pulang.

Maka, sembari mengawasi sekitar, aku melangkahkan kaki serampangan. Tak sekali-dua kali aku hampir terjatuh, membuat umpatanku mengalun sumbang. Kenapa juga aku harus terayu Rofik buat main malam-malam?! Aku semakin cemas saat teringat adikku sendirian di rumah. Biasanya dia sudah tidur jam segini, tapi aku ragu tentang itu.

Aku berjingkat pelan saat mendengar gemrisik daun yang ganjil. Sedikit suara menjadi amat ketara di malam yang sunyi, termasuk desik teropahku saat menyentuh tanah. Setelah memastikan tidak ada apapun yang perlu ditakuti, aku kembali menatap ke depan, saat itulah aku tidak dapat menahan teriakanku. Sekitar sepuluh meter dariku berdiri, aku melihat siluet orang (lucu sekali aku menyebutnya orang saat aku belum tahu pasti dia itu apa). Tiga belas tahun aku hidup, aku cukup sadar kalau aku normal—tidak indigo atau semacamnya—jadi aku ragu kalau itu adalah hantu.

Berkat pemikiran itu, aku jadi makin takut. Di saat seperti ini, manusia bisa jadi lebih mengerikan daripada hantu. Maksudku, manusia bisa menyakitiku kapan pun, sementara hantu tidak. Kalau saja tak teringat adikku di rumah, aku bisa saja lari kembali ke rumah Rofik lalu bersujud di kakinya agar diizinkan bermalam di sana. Aku menelan ludah saat sadar, dia berdiri di depan rumah itu. Sosoknya tersiram pelita yang tersampir di pagar menyeramkan itu.

Semakin takutlah aku saat kulihat penampakkannya, rambut hitam tergerai, gaun hitam lengan panjang yang menutupi sampai lutut dengan kaki terbungkus stocking putih dan sepatu boots tinggi. Ia seorang gadis yang tiga kepal tangan lebih tinggi dariku.

"Kamu sedang apa, Wira? "

Aku terkejut dia tahu namaku. Aku bahkan tidak sadar kakiku melangkah mendekatinya. Mataku kembali mendaki, menatap lamat wajah tirus gadis itu. Kupikir aku sudah mengenal semua anggota desa, ternyata belum—aku tak mengenalnya sama sekali.

"Kau ... kenal aku?" tanyaku ragu.

"Ya," jawabnya dengan lugas. Aku jadi waspada sewaktu dia melangkahkan kaki mendekatiku. Payung yang di pandangan pertama kukira adalah senjata—pedang—ikut mengambil langkah.

"Kau siapa?" tanyaku mencoba menyamarkan ketakutanku.

"Apa kita perlu berkenalan? Eh—kamu sedang mengumpulkan permen Halloween, ya?" Dia balik bertanya sambil menunjuk saku celanaku dengan payungnya. Aku tak tahu apa itu halloween, tapi melihat tampilannya begini, mungkinkah itu acara yang suram? Seperti melayat misalnya.

"Tidak, aku harus pulang," jawabku. Aku hanya perlu melewatinya, lalu pulang. Adikku barangkali tengah menggila sekarang, aku harus segera pulang buat menenangkannya. Ditambah dengan ramalan kakek Rofik tentang kunjungan itu, membuatku makin khawatir. Karena yang kutahu, adikku indigo, dia biasanya sawan ketika diganggu makhluk halus, dan tengah malam nanti, dia pasti akan parah sekali.

Aku baru mau melewatinya ketika kurasakan tangannya meraih bahuku. "Kau tak mau ikut denganku merayakan halloween?"

"Tidak."

Cuma dengan satu tarikan dia berhasil menyeretku. "Lepas!" teriakku.

Mataku membola saat tahu kemana dia membawaku. Ke rumah itu. Yang paling mebuatku ngeri adalah, tubuhnya yang menembus pagar. Kuulangi, pagar! Tapi kengerian itu belum selesai karena setelahnya tubuhku ikut menembus pagar itu.

"Sakit!" berangku saat dia menyentak tanganku, membuatku yang masih hanyut dalam kengerian terjerambab dengan tidak elit.

"Kita sudah sampai." Dia melangkahkan kaki, meninggalkanku yang masih terbaring di tanah. Mataku menatap pagar hitam itu. Apa aku baru saja menembusnya? Oke, halusinasiku memasuki level baru sekarang.

"Ini bukan halusinasi."

Tunggi! Apa dia bisa membaca pikiranku?

"Ya!" Gadis berpayung itu mendekatiku. "Ini pesta halloween, di dunia lain."

"Jangan bercanda!" seruku tak terima.

"Kau imut sekali kalau sedang marah," katanya sambil mengusap pipiku dengan sapu tangan—gerakannya elegan, amat berkebalikan dengan yang beberapa saat lalu dia lakukan padaku. "Ah ... aku lupa. Ada yang ingin bertemu denganmu."

"Yang benar saja! Aku mau pulang! Halusinasi sialan! Urus saja pesta helowinmu itu! Aku pasti sudah gi ... la," umpatku terhenti begitu saja ketika kulihat seorang anak kecil, dia memakai baju bitu langit bergambar bintang dan jaket parka hijau yang terlihat kebesaran di badan mungilnya. Tak mungkin aku tak mengenal wajah itu. Dia adikku.

"Bagaimana dia ada di sini?!" tanyaku menggebu-gebu.

"Dia memang sudah ada di sini sejak tiga tahun yang lalu, kok." Dia membuka pintu kerangkeng itu, dan adikku berlari menerjangku.

"Kubilang jangan bercanda!!" Dia tergelak keras manakala aku membentaknya begitu. Sikapnya terus berubah-ubah sedari tadi, kalau kupikir, aku juga sama. Aku tak bisa konsisten memperlihatkan keberanianku. Tangan bergetarku, kulingkarkan ke tubuh adikku, mendekapnya kuat.

"Yang di rumahmu itu bukan adikmu, dia kakakku, Derek," ucapnya sembari merendahkan tubuh. Dia mengelus kepala adikku dengan sayang.

"Kau tahu kisah tentang keluargaku? Kisah tentang sebuah keluarga yang mengadakan pesugihan. Kenalkan, aku Anneth, bungsu keluarga itu. Ayah dan kakakku sudah meninggal. Tapi, jiwanya terikat dengan dunia bawah, dunia jin, entah bagaimana kamu menyebutnya. Yang pasti, aku membawamu kemari, buat menyelamatkanmu dari jin-jin itu." Mata hitamnya menawanku dalam tatapan intens. Lagi, aku lengah, karena ketika aku sadar, aku sudah ada dalam kerangkeng itu, berpelukan dengan adikku.

"Sialan!" umpatku keras sampai adikku terkaget-kaget.

"Untuk sementara waktu, tetaplah diam seperti itu." Payungnya dia benturkan ke kurungan ini.

"Kenapa kau melakukan ini?" Kuelus pelan pundak adik kecilku ini.

"Jangan ambigu. Kau bertanya kenapa aku menyelamatkanmu, atau karena aku mengurungmu?"

"Dua-duanya!"

"Sayangnya cuma ada satu jawaban," ucapnya disertai senyum memuakkan. "Aku melakukannya, karena aku yang menargetkan orang tuamu, buat tumbal pesugihan kami. Anggap saja aku merasa bersalah pada kalian, dan hendak menggagalkan rencana iblis peliharaanku supaya tidak memakan jiwa kalian."

OCTOBER EVENT GEN 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang