Oleh : · Vina Octaviani
Room Genre : ROMANCE
Tema : Screaming Halloween
========
"Apa yang kalian dengar baru-baru ini?" Marco bertanya pada kami berempat.
Lucas yang duduk di sebelahku menjawab, "Joker si pemburu pisau cukur. Kupikir itu lelucon yang sengaja dibuat seseorang untuk menakuti bocah tujuh tahun." Dia tertawa sambil mereguk birnya.
Aku sendiri duduk diam sambil bersandar di pundak Samuel, pacarku yang kalem dan tidak banyak omong. Sebelah tangannya merangkul bahuku nyaman.
"Menurutmu Harper, apa ini sekadar lelucon untukmu?"
Aku menatap Marco yang memainkan pisau lipatnya dengan gaya ditutup-dibuka. Kujawab dengan setengah ragu, "Well, yang kudengar dia menyelinap masuk ke rumah seorang nenek tua dan menggorok lehernya dengan pisau cukur saat dia tertidur. Namun polisi tidak menemukan jejak sidik jarinya di mana pun. Dan mereka hanya menyimpulkan itu tindakan bunuh diri. Bahkan posisi tubuhnya juga seakan dia memang sengaja melakukannya. Jadi aku yakin itu lelucon."
Seminggu yang lalu, di distrik perumahan Parker Avenue---tempat tinggal kami, dikejutkan penemuan mayat nenek tua bernama Bibi Margaret---itu sebutan kami untuknya, di dalam rumahnya dengan posisi tubuh telentang di kasur sambil memegang pisau cukur. Dengan goresan panjang di leher dan darah yang membasahi seprai putihnya. Aku melihat fotonya waktu seseorang memotretnya diam-diam.
Banyak yang bilang dia dibunuh oleh seseorang yang menyerupai joker, menurut saksi yang melihatnya. Saksi itu seorang lelaki negro. Dia baru pulang dari klub dengan agak mabuk, dia melihat seseorang berpakaian khas badut menyelinap masuk ke halaman rumah Bibi Margaret. Dia tidak berpikir macam-macam saat itu karena berpikir dia mabuk dan mungkin salah melihat orang. Lalu polisi juga tidak menemukan bukti seseorang masuk ke rumah wanita tua itu lewat kamera CCTV. Jadi kesimpulannya tetap ..., Margaret bunuh diri.
"Jadi kalian juga berpikir ini bohong. Baiklah, menurutmu Samuel? Kau juga berpikiran sama?" Marco beralih pada Samuel. Aku sedikit menjauhkan tubuh supaya bisa menatapnya.
"Untuk yang kali ini aku berbeda denganmu Harper. Aku berpikir ini masalah yang cukup serius. Di mana seorang wanita tua ditemukan tewas mengenaskan dan seseorang menangkap basah pembunuhnya dalam kondisi mabuk. Kurasa dia memang benar melihatnya menyelinap. Dan kurasa pembunuhnya juga cukup ahli mematikan kamera CCTV-nya sebelum dia beraksi." Aku memperhatikan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Samuel tanpa berkedip. Wajahnya serius dan aku berkedip saat mendengar suara tawa di sampingku.
"Kau memercayai yang dikatakan lelaki negro Itu? Oh man, dia mabuk. Yang dipikirkannya cuma miras dan wanita yang menari telanjang. Jangan ikut-ikutan bodoh memercayainya." Lucas menyeringai sinis dan kembali menenggak birnya hingga habis.
"Kau bilang begitu karena kau rasis. Kau dan keluargamu itu hanya memandang rakyat kulit putih sebagai yang paling benar. Padahal konsepnya tidak melulu seperti itu. Jangan anggap dirimu pintar sebelum kau sendiri bisa menyelesaikan PR-mu tanpa menyogok orang lain." Aku memandang takjub kepada Samuel yang berani berbicara seperti itu pada Lucas. Dapat kulihat wajah Lucas mengeras dengan pandangan menusuk pada Samuel. Aku mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul.
"Sudah, sebaiknya kita hentikan pembicaraan ini. Lagipula tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi sekarang. Bukan begitu?" Aku menatap mereka berganti tapi mereka tidak menunjukkan respons apa-apa selain diam. Barulah saat itu aku sadar ada yang ganjil di sini.
"Ke mana perginya Gwen?" tanyaku, yang membuat ketiganya langsung menengok ke kursi samping Marco---tempat Gwen duduk tadi.
"Hei, kapan dia pergi?" Marco bertanya, yang lebih untuk dirinya sendiri.
Aku menatap sekeliling kafe yang tidak banyak pelanggan datang malam itu. Suasananya remang-remang karena hari itu hari Halloween. Kami berlima memang tidak menghadiri pesta dan memakai kostum semacamnya. Lucas bilang itu hanya membuang-buang waktu. Padahal aku lebih yakin, duduk dengan dua botol brendi dan lima bungkus Cheetos yang berserakan di meja jauh membosankan daripada bermain kartu bersama teman-teman yang lain.
"Kurasa dia pergi ke toilet. Aku akan memeriksanya," kataku dan berdiri dari kursi.
Melintasi lorong yang lumayan temaram, yang dindingnya dipasang obor-obor menyala, aku merasakan perasaanku mulai tak nyaman. Jantungku berdegup keras. Pantang bagiku untuk kembali mundur di saat aku sendiri sudah di depan pintu toilet wanita.
Kuketuk pintunya lumayan keras. "Gwen, kau di dalam?"
Aku menunggu beberapa saat namun tak mendengar suara apa-apa di dalam. Kucoba kuketuk kembali pintunya dan menempelkan daun telingaku di pintu. Hingga beberapa menit, masih tidak muncul juga. Aku dilanda cemas. Tanpa memikirkan hal lain selain kondisi perempuan itu, kudorong pintunya masuk.
Aku berdiri di pintu dan melihat dengan jelas bagaimana semuanya terekam langsung di otakku. Kakiku nyaris lumpuh dan mataku mulai berair. Aku masih diam membeku dengan pandangan lurus ke bawah---di mana sahabatku tergeletak di lantai dengan luka sayatan di leher---mengingatkanku pada kasus Bibi Margaret seminggu lalu.
Tanpa sadar, air mataku tumpah. Aku tak bisa memercayainya. Ini mustahil. Tidak mungkin dia ada di sini. Aku langsung merogoh saku jins---berniat menghubungi sherif. Namun sialnya ponselnya kutinggalkan di meja. Shit! Aku terpaksa kembali dan meninggalkan Gwen sendirian.
Begitu sampai di tengah-tengah ruangan, aku menyadari ada yang aneh. Kulirik sekelilingku dan tidak menemukan siapa pun di sana. Bahkan Samuel, Marco, Lucas juga menghilang. Aku dihadapkan pada kecemasan, bingung, dan keputusasaan.
Saat aku berbalik, tubuhku menegang melihat seseorang berpakaian badut dengan topeng joker, berdiri tak jauh dari posisiku. Di tangannya terdapat pisau cukur. Aku meneguk ludah.
Kakiku mundur hingga tak bisa mundur lagi. Aku melihatnya berjalan ke arahku. Langkahnya santai namun sangat mengancam. Aku menggeleng-geleng sambil menangis. Psikopat itu tak menghentikan niatnya mendekatiku. Dan begitu posisinya di depanku---siap melayangkan pisau cukurnya, detik itulah aku berteriak.
Napasku tersengal bersamaan aku bangun dari posisi berbaring. Itu mimpi. Mimpi yang terasa nyata. Dadaku sesak dan aku langsung melompat dari tempat tidur dan berlari ke luar rumah. Aku belum menyadari sesuatu sampai aku melihat orang-orang berkumpul di depan rumah Bibi Margaret.
Ada garis polisi yang dipasang di depan rumahnya. Perasaanku mulai tak enak. Apa yang kupikirkan semoga saja tidak benar.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" tanyaku pada seorang pemuda yang berdiri di depan garis polisi.
Dia menjawab, "Bibi Margaret tewas dibunuh."
•••
Ada satu pesan masuk dari Lucas dan aku memeriksanya.
Hei, aku punya usul tentang rencana Halloween malam ini. Bagaimana jika kita habiskan minum-minum di kafe yang biasa kita kumpul? Ajak juga pacarmu si Samuel. Awas kalau kalian tidak datang 👿 aku juga akan mengajak Marco dan Gwen untuk ikut.
See ya🤡
KAMU SEDANG MEMBACA
OCTOBER EVENT GEN 2
RandomBuku ini adalah salah satu wujud dari program nyata Monthly Event Atlantis World Writers. Berisi kumpulan flash fiction bertema "Midnight" dan "Screaming Halloween" dalam berbagai macam genre karya para Member Gen 2 Atlantis World Writers. Semoga be...