PERMINTAAN MAAF

114 15 2
                                    

We shouldn't be enemies, should we?

Aku duduk melamun di depan microwave sembari membaca pesan yang mendarat di ponselku beberapa menit yang lalu, dari Alvin. Aku sudah berusaha untuk seprofesional mungkin ketika aku harus bekerja sama dengannya dalam urusan pekerjaan. Tetap berdiskusi seperti biasanya menuntaskan pekerjaan yang dipercayakan kepada kami sebaik mungkin. Aku sepenuhnya menyadari bahwa urusan pribadi dan urusan pekerjaan adalah dua hal yang berbeda.

Namun agaknya ketidakjelasan hubungan persahabatan kami yang sudah berlangsung beberapa bulan ini harus segera dibereskan. Aku juga ingin berdamai dengan semua ini, sangat ingin. Tapi bagaimana caranya? Aku belum memiliki hati sebesar itu untuk bisa menerima kenyataan terberat saat mencintainya, yaitu melihatnya mencintai orang lain. Aku tidak ingin bermusuhan, tapi untuk kembali menjadi teman, aku butuh waktu untuk merawat hati sampai aku bisa merasakan ketika berada di dekatnya, aku baik-baik saja.

Satu suara tiba-tiba mengagetkanku. Aku mengerjap menatap microwave dengan bingung, lalu segera menyadari bahwa itu suara telepon di ruang duduk. Aku berjalan ke ruang tengah dan duduk di sofa.

"Hai,"

Satu suara bernada rendah namun berat terdengar begitu gagang telepon menempel di telingaku. Suara yang sudah menghilang beberapa hari ini, yang sudah membuat semua orang cemas dan khawatir.

"Dimana kamu?!"

***

"Maaf aku tidak ada ketika kamu datang,"

Lihatlah siapa yang sedang bicara di depan meja sekuriti dengan senyum lebarnya yang cerah dan tak berdosa itu? Christopher Wayne Ambrosse. Suaranya terdengar lelah namun ringan dan santai seperti biasa. Sementara aku hanya menatapnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku berkata dengan nada kesal.

"You show up here after days and you say hi? Ikut aku!" Setelah berkata seperti itu, lantas aku berjalan keluar. Chris berjalan mengikutiku keluar apartemen setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih kepada sekuriti karena sudah mengizinkannya memakai telepon untuk menghubungi kamarku.

"Kamu ada, tapi nggak mau menemuiku." Kataku menanggapi permintaan maafnya saat aku sudah duduk di kursi yang terletak di depan sebuah swalayan yang masih berada di dalam komplek apartemen.

"Aku tidak ..." dia terdengar seperti ingin menyangkal namun akhirnya dia melanjutkan. "Yah ... aku juga minta maaf untuk itu."

Dia yang duduk di depanku menatapku dengan mata yang disipitkan lalu bertanya.

"Kamu marah padaku?"

Aku mendengus dan balik bertanya dengan nada rendah. "Masih berani bertanya apa aku marah?"

Dia mengangkat alis.

"Jelas aku marah. Kamu kemana saja? menghilang begitu saja tanpa kabar. Dan kemana ponselmu? Semua orang menghubungimu lalu menghubungiku menanyakan apakah kamu baik-baik saja atau enggak _diam aku belum mengizinkanmu bicara. Kamu pernah seperti ini sebelumnya dan ternyata kamu sekarat di rumah sakit. Kamu tahu nggak sih kalau aku sampai mengira kamu mungkin menjadi korban penculikan atau bisa saja kamu mengalami kecelakaan atau hal buruk yang membuatmu hilang ingatan atau semacamnya? Aku nggak bisa bekerja dengan baik beberapa hari ini karenamu, don't you know that?" omelku panjang lebar, lega sekali rasanya. Tapi bukannya menyesal, dia malah tersenyum.

"Kenapa senyum-senyum?" Tanyaku galak.

"Kamu tidak marah padaku." Balasnya tenang.

Aku memejamkan mata dan mendesah. Jelas sekali aku sedang mengomel, aku harus bagaimana lagi mengekspresikan kemarahanku.

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang