SUDAH WAKTUNYA

111 13 0
                                    

"Jane?"

Aku baru saja keluar dari ruang ganti dan terkejut saat melihat Jane yang sedang duduk sendirian di ruang tunggu yang terletak di ruang pelayanan di lantai empat.

"Oh hai, Diana!"

Dia sama terkejutnya sepertiku.

"What are you doing here?"

Dia menunjuk ke arah seorang wanita berbaju cokelat yang sedang berbicara dengan customer service, lalu melanjutkan. "I got a call last night, seems like there are some sort of mistakes here."

Dia lalu menjelaskan permasalahan yang sedang dia alami tentang statusnya di Indonesia. Aku mengangguk mengerti lalu segera menghampiri konter dimana manajernya berada dan berbicara dengan mereka. Setelah beberapa belas menit akhirnya masalahnya terselesaikan. Jane tidak henti-hentinya mengucapkan terimakasih padaku. Dan sebagai bentuk ucapan terimakasihnya dia mengajakku makan siang yang tidak tega untuk kutolak. 

***

"Are you guys fighting?"

Tanya Jane tiba-tiba saat kami sudah sampai di Odysseia Pasific Place untuk makan siang.

Aku mendongak menatap Jane yang duduk di depanku dengan alis terangkat.

"Excuse me?"

"You and Chris." jawabnya ringan sambil menikmati mushroom pasta di depannya.

"No, why do you ask?"

"I asked him to come and join us for lunch but he refused."

"And he said?"

"You don't want to meet him."

Aku mengangguk sembari tertawa kecil. Salah satu hal yang aku suka darinya adalah perangainya yang ceria dan sangat menyenangkan.

"True, but we're not fighting, it's another thing."

Aku tidak bisa menahan senyum mengetahui ternyata Chris menyetujui gagasanku.

"He is annoying, right?" tanyanya lagi.

Aku mengamatinya yang sedang memutar pastanya dengan garpu selama beberapa saat, lalu tertawa pendek.

"It's seems to me you've been long acquainted with him."

"Very long, we are so much brother and sister."

Dia berkata seperti itu dengan nada seolah-olah mereka adalah kakak adik yang saling menyayangi tapi bertengkar setiap hari.

"Oh, he has a sister. I'm surprised!" Decakku.

"Not by blood," tangannya terulur meraih gelas, meminum seteguk lalu melanjutkan. "My sister was his girlfriend. You know like high school-sweetheart."

"Was?"

Aku bertanya dengan mata disipitkan.

"She died." jawabnya ringan.

"Oh, I'm really sorry." Sahutku setelah tertegun beberapa saat dengan nada menyesal tapi dia segera melambaikan tangannya seolah-olah hal itu sudah bukan sesuatu yang dia sesali lagi.

"How long ago was it?"

"It's been six years or nearly, It's still there but doesn't hurt anymore."

Sejenak dia tidak berkata apa-apa, seperti sedang berpikir lalu melanjutkan. "She was murdered."

***

Aku ingat Chris pernah bercanda tentang pacarnya yang meninggal karena terbunuh. Aku sama sekali tidak menyangka kalau ternyata itu benar-benar terjadi, tentu saja bukan dia pembunuhnya. Pacarnya yang bernama Amanda Reed enam tahun yang lalu ditemukan tak bernyawa di apartemen temannya dengan luka tembak di kepala dalam kedaan sedang hamil.  bukan dengannya tapi dengan orang lain. Menurut Jane, Chris bahkan tidak tahu menahu soal kehamilan Amanda sampai kemudian hasil autopsi keluar dan ternyata diketahui bahwa umur kehamilannya sudah sepuluh minggu, yang paling mengejutkan lagi adalah pembunuh Amanda adalah temannya sendiri yang mana mereka memiliki affair di belakang Chris.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya saat itu. He has every reason to be upset. Dia dihianati oleh pacar dan temannya sendiri. Tapi apa yang dikatakan Jane? dia pasti sedih dan kecewa namun dia terlihat begitu tegar. Dia yang menenangkan keluarga Jane yang syok berat atas kehilangan anggota keluarganya itu, ikut mengurus pemakamannya bahkan ikut mendampingi proses hukum sampai selesai. Tidak hanya itu, dia masih sering mengunjungi keluarga Jane dan perlakuannya sama sekali tidak berubah setelah semua yang terjadi bahkan setelah dia pindah ke New Jersey dia masih sering menghubungi mereka.

Aku jadi bertanya-tanya, Chris memiliki semua alasan untuk marah, kecewa, dan berhak merasakan seluruh emosi paling tidak enak yang pernah ada tapi dia memilih untuk merawat hatinya, berdamai dengan kenyataan. Mungkin ini sudah waktunya aku harus berdamai dengan kenyataan. Chris saja bisa, kenapa aku tidak?

Aku menatap ponselku yang tergeletak di meja sembari menimbang-nimbang apakah aku sebaiknya melakukan sesuatu yang sejak tadi kupertimbangkan atau tidak. Aku lalu memutar kursi sembilan puluh derajat menghadap ruang rapat dimana Alvin terlihat sedang duduk di dalam sana, serius menatap layar proyektor sembari mendengarkan seseorang yang sedang menjelaskan dari samping layar. Apakah sebaiknya aku mengirim pesan padanya? Aku cukup lama menatapnya sebelum akhirnya tanganku terulur meraih ponsel tanpa mengalihkan perhatianku darinya.

"Let's settle this thing once and for all." 

Begitu bunyi pesan yang kukirimkan padanya. Tak butuh waktu lama sampai kemudian Alvin membuka ponselnya dan seketika itu dia langsung melihat ke arahku. Kebetulan meja kerjaku berjarak tak jauh dari ruang rapat yang didesain transparan itu, sehingga aku bisa jelas melihatnya begitupun sebaliknya. Cukup lama dia hanya menatapku dari dalam sana sampai kemudian balasan darinya masuk ke ponselku.

"Sure, right after this." 

Aku mendapati diriku menghela napas sebelum membalas pesannya.

"Jam 7, rooftop?" 

"Nice, see u there." 

Aku dan dia sempat bersitatap untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku memutar kembali kursiku mengahadap layar monitor dan menerima satu pesan lagi darinya,

"Dimana cincin lo?" 

Rupanya dia memperhatikan.

"Gue lepas." 

***

AFTER HEARTBREAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang