Hujan langsung turun dengan deras tepat saat aku dan ibuku sampai di teras rumah kecil kami. Ibu buru-buru memasukkan sandal-sandal yang tergeletak berserakan di luar ke dalam dan menyusunnya dengan rapi di rak kayu yang terletak di dekat pintu sambil terus mengomel tentang aku yang tidak disiplin, kerjanya hanya bermain, tidak kenal waktu.
"Cepat masuk!!" hardik ibu dengan keras.
Aku mengaduh saat tangan kanannya menjewer telingaku, sakit sekali.
"Ibu sakiiit." Rengekku.
Aku meronta sambil berjalan melewati pintu. Tangan kiriku berusaha melepas tangan ibu yang menjewer telingaku dan berhasil. Begitu melihat bapak yang sedang duduk di kursi kesayangannya sambil mendengarkan ceramah dari radio di ruang tengah, aku segera menghambur ke arahnya, bersembunyi di belakang kursinya, mencari perlindungan.
"Diana, ibu bilang kerjakan PR mu!"
"Diana tidak mau!"
Aku menolak, tanganku mencengkeram bahu bapak, berharap bapak membelaku seperti yang sudah-sudah. Perlu diketahui, drama ibu dan anak seperti ini selalu terjadi setiap malam. Tetangga sekitar akan bertanya keesokan harinya jika semalam saja tidak mendengar ibu meneriakiku untuk melakukan ini dan itu.
Kulihat ibu berjalan menghampiriku dengan wajah lelah bercampur kesal hendak menyeretku keluar dari zona amanku. Tapi sebelum itu terjadi, bapak seperti yang kuharapkan selalu berhasil jadi penyelamat.
"Bu, sudah." Kata bapak, pelan saja disertai anggukan pelan sebagai isyarat meminta ibu supaya membiarkanku. Ibu tidak mengatakan apa-apa setelah itu, hanya menatap kami sembari menghela napas dengan berat lalu masuk ke kamar. Dua puluh detik kemudian ibu sudah keluar dengan menenteng meja kecil di tangan kanannya serta beberapa buku di tangan kirinya.
"Sepuluh menit."
Setelah berkata seperti itu, ibu segera masuk ke kamar karena tepat pada saat itu terdengar suara tangisan bayi, Abimanyu, adik keduaku.
Aku menghembuskan napas lega sembari menatap meja kecil di depanku dengan tumpukan buku diatasnya itu. Seringkali aku merasa takjub dengan kemampuan ibu yang bisa melakukan apa saja, bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Yang paling sederhana, memasak sambil menyuapi Bagus sekaligus memeriksa PRku.
Selain itu, ibu selalu tahu segalanya seperti jadwal pelajaran, PR, sudah sampai mana pelajaran di sekolah, sudah sampai juz berapa aku mengaji, kegiatan apa saja di sekolah, di TPQ, guru-gurunya, ustadz-ustadzahnya. Yang paling membuatku takjub adalah ibu selalu berada satu langkah di depanku. Sebagai contoh, ketika di sekolah aku sedang belajar A, ibu sudah mempelajari B dan akan selalu memeriksa seluruh PRku sebelum dikumpulkan keeseokan harinya. Ketika ditemukan kesalahan, ibu tidak akan dengan segan menunjukannya padaku dan mengajariku bagaimana mengerjakan dengan benar.
Ibu tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan formalnya hanya sampai sekolah dasar. Tapi aku sering sekali mendapati buku-buku pelajaranku tergeletak di dapur, di tempat setrika, di kamar mandi, di ayunan bagus, di tempat jemuran bahkan pernah sekali waktu aku menemukannya di warung sayur dekat rumah kami. Aku sering bertanya-tanya bagaimana ibu bisa melakukan semua itu di tengah kesibukannya mengurusi kami semua?
"Diana,"
Suara bapak membuyarkan lamunanku. Saat aku menoleh ke arah kursinya, bapak sudah tidak disana. Rupanya bapak sudah tidur telungkup dengan sisi tubuh menempel pada dinding.
"Ayo, injak-injak badan bapak." perintahnya.
Aku tersenyum. Lalu segera naik ke punggung bapak. Siapa yang bisa menolak itu, mata pencaharian yang cukup menjanjikan untukku selain mencabut uban dan beli kopi di warung. Biasanya aku akan mendapatkan tambahan uang jajan keesokan harinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...