Aku baru saja keluar dari ruang rapat saat ponsel yang ada di saku bajuku bergetar. Namun sebelum aku sempat memeriksanya, seseorang memanggilku. Pak Sony menggerakkan tangannya dari depan pintu ruangannya mengisyaratkan aku untuk menemuinya. Aku mengerang pelan sambil memaksakan diri berjalan menuju ke ruangan orang yang paling berpengaruh di divisiku dan mungkin di gedung ini mengingat banyak sekali perkara vital yang berjalan di bawah tanggung jawabnya.
"Well done, Diana. Akhirnya semua ini bisa selesai sesuai yang direncanakan." serunya saat aku sudah duduk di salah satu kursi di ruangannya.
"Terimakasih pak, semua ini berkat kerjasama dari banyak pihak."
Pak Sony mengangguk menyetujui gagasanku.
"Aku tidak pernah salah memilihmu sebagai ketua tim, kupikir hasilnya tidak akan sebagus ini seandainya ketua timnya orang lain."
"Bapak terlalu berlebihan," kataku menolak pemikirannya.
"Aku serius, Diana." Pak Sony lalu mendongak melihat jam dinding di belakangku. "Baiklah sudah jam empat, pasti kamu sangat lelah hari ini jadi sebaiknya kamu segera pulang tapi sebelum itu suruh Rina untuk menyiapkan segala dokumen yang diperlukan dan besok pagi sudah harus siap di mejaku, oke?"
Aku mendesah dalam hati sebelum mengiyakan perintahnya. "Siap pak."
"Satu lagi, tolong hubungi Alvin, pastikan keadaannya tidak separah yang kupikirkan."
Aku mengerutkan keningku tidak mengerti. "Ada apa dengan Alvin?"
"Dia meneleponku tadi, katanya sedang kurang enak badan jadi meminta izin untuk pulang lebih cepat."
***
"Hei, lo kenapa?" aku bertanya dengan nada cemas bercampur curiga saat mendengar suaranya yang serak di ujung sana.
"Aku nggak tahu," gumamnya pelan. "Tiba-tiba pusing, mual, tenggorokan sakit terus sekarang ditambah demam."
"Sejak kapan? tadi pagi kayaknya baik-baik aja," aku terdiam sejenak karena teringat sesuatu, "Bukan karena keracunan makanan yang gue bawa pas sarapan tadi kan?" tanyaku ragu.
"Bukan, kurasa bukan itu. Kalau makananmu beracun pasti kamu juga ikut sakit."
"Udah ke dokter?"
"Udah."
"Minum obat?"
Tidak ada jawaban dari ujung sana, membuatku semakin khawatir.
"Alvin, lo dengerin gue kan?" kali ini aku bertanya dengan nada sedikit lebih keras dari sebelumnya.
"Diana," jawab Alvin akhirnya, suaranya terdengar lirih dan lemah, napasnya juga terdengar berat. "Kamu bisa datang kemari?"
"Lo nggak sakit parah kan? Gue panggil ambulan ya?" aku semakin cemas karena ujung kalimatnya hampir tak terdengar.
"No, no, no. Aku nggak separah itu, mobilku masih di kantor, jadi tolong antar kemari, if you would be so kind!" Pintanya lagi. Kali ini dengan nada sedikit memaksa.
Aku menghembuskan napas lega. "Ya, tentu. Dimana kuncinya?"
"Di laci mejaku, nomor dua dari bawah."
Aku segera menyambar tas dan melesat menuju lantai satu dimana meja kerja Alvin berada tanpa memutuskan sambungan telepon.
"Diana," panggilnya pelan saat aku sudah sampai di meja kerjanya.
"Ya,"
"Bisa nggak kita mulai membiasakan bicara pakai 'aku' dan 'kamu'?"
"Nggak!" Aku menolak cepat.
"Why?"
"It's weird."
"Please,"
Aku mendengus pelan. "Ya, oke akan kuupayakan."
"It's a good start, Honey!"
Tanganku reflek berhenti mengaduk isi laci mendengar ucapannya itu. Aku akhirnya menjatuhkan tubuhku di kursi dan melamun, baru benar-benar menyadari bahwa hubunganku dengannya sudah tidak sama lagi, tidak sama dengan beberapa bulan sebelum ini juga beberapa tahun sebelumnya.
Selama lima tahun ini aku terbiasa dengan hubungan persahabatan yang mengalir begitu saja, apa adanya, tidak ada yang berusaha untuk ditutup-tutupi, tidak dibuat-buat, aku sebenarnya aku, dia sebenarnya dia dan aku sangat menyukai itu. Aku tidak bisa membayangkan jika harus ada yang berubah meskipun aku tahu mungkin itu harus, tapi aku tidak suka.
Oh, God!
Apa yang sebenarnya sedang kupikirkan. Aku mengerjapkan mata seolah baru saja tersadar dari sesuatu, bagaimanapun aku dan dia memang sudah berbeda sekarang, jadi anggap saja it's an upgrade, hanya mengubah 'lo' dan 'gue' jadi 'aku' dan 'kamu' selebihnya tidak ada yang berubah, apanya yang aneh? Sama sekali tidak ada. Baiklah mungkin memang aneh pada awalnya, tapi aku yakin aku akan terbiasa.
"Have you found it?"
Aku terkesiap sebentar lalu tanganku segera menyambar kunci dengan sekali sentakan.
"Found it!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...