Aku melirik ke arah kalender di meja kerjaku, hari Jumat. Harusnya aku merasa bersemangat karena besok libur tapi yang kurasakan justru sebaliknya. Aku duduk bersandar di kursi sambil mendesah pelan, mendongak menatap langit-langit sembari menggerak-gerakan kursi ke kanan ke kiri. Aku sedang menunggu Alvin yang masih harus rapat di lantai delapan belas. Dia berjanji akan menemaniku mencari hadiah untuk Bagus yang dua hari lalu telah dinyatakan lulus ujian tesisnya. Setelah itu kami akan menonton premiere filem horor Indonesia hasil karya dari sutradara favoriku. Menonton premiere filem tersebut masuk dalam top wish list ku minggu ini. Alvin sampai harus menghubungi beberapa teman untuk mendapatkan tiket yang dijual secara eksklusif itu dan tidak semua orang bisa beruntung menjadi yang pertama menonton filem tersebut apalagi bersama-sama dengan pemainnya. Ya, seharusnya aku bersemangat.
Aku menatap ponsel yang tergeletak di atas meja dengan kening berkerut lalu melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul 18:30 dan mendengus pelan.
"Whatever!" desahku lebih kepada diri sendiri dengan nada acuh tak acuh.
Namun seolah seperti ada yang menuntun kakiku, aku tiba-tiba saja berjalan menuju jendela kaca besar di salah satu sisi ruangan. Memandang keluar memerhatikan gedung apartemen enam puluh lantai yang berdiri kokoh diantara gedung-gedung pencakar langit lainnya dengan tatapan menerawang. Semua ini gara-gara dia. Sudah seminggu tapi dia tidak ada kabar, tidak menelepon, mengirim pesan atau apapun. Ponselnya juga tidak bisa dihubungi, aku tiba-tiba saja meneleponnya kemarin entah kenapa, tanpa sadar, untung saja ponselnya mati. Sepertinya naluriku sudah mulai terbiasa dengan situasi jika beberapa hari tidak ada kabar darinya maka aku reflek mengubunginya sebelum Hannah atau Jimmy menerorku dengan telepon tanpa henti. Ya, itulah alasannya. Jadi bukan karena aku mencemaskannya, tentu saja bukan.
Oh!
Aku tersentak saat mendengar dering ponsel dan cepat-cepat berlari ke arah meja, meraih ponsel dan bahuku melesak tanpa kusadari saat melihat siapa yang menelepon.
"Hann,"
"Kenapa sih lesu gitu?" tanya Hannah di ujung sana dengan nada memprotes. "Lo kan mau pacaran sama Alvin, semangat dong ah!" ledeknya kemudian.
"Apaan sih," aku menjawab acuh tak acuh.
Dia memang sudah tau mengenai aku dan Alvin. aku meneleponnya sesaat setelah kejadian di lift itu.
"Kenapa sih?"
Aku menggeleng lemah, meletakkan satu siku di atas meja dan bertopang dagu. "Nggak tau, lagi tiba-tiba males aja."
Dua detik kemudian aku menegakkan kepala saat samar-samar kudengar orang bercakap-cakap dengan logat Inggris yang kental. "Lo lagi di London?"
"Yep."
Tanpa sadar aku tersenyum. Entah kenapa.
"Yorkshire." tambahnya.
Keningku berkerut.
"Apa mungkin lo lagi di rumah keluarga Ibunya Jimmy?"
"Iya, makannya ini gue nelpon elo. Lo tau nggak ternyata mereka keturunan bangsawan Inggris. Oh God, unbelievable!"
Aku bisa mendengar ada nada tidak percaya sekaligus tidak menyangka dari kalimat yang diucapkan Hannah.
"Tunggu," Hannah terdiam sebentar. "Kok lo tau kalau ibunya Jimmy dari Yorkshire?"
Oh dear!
Aku lupa kalau Hannah tidak tahu bahwa aku mengetahui sekelumit cerita tentang keluarga suaminya. Tapi aku tidak mungkin menceritakan tentang masa lalu almarhumah ibu mertuanya itu bukan? bukan kapasitasku untuk mengatakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...