Tepat pukul 9.30 pagi aku sampai di apartemen dan menemukannya dalam keadaan kosong. Ada kelegaan di hatiku karena memang ini yang kuharapkan. Aku menyeret kakiku ke kamar. Aku bisa istirahat selama setengah jam karena aku harus kembali ke kantor dalam satu jam. Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur, tangan kiriku meraih charger. Aku baru ingat ponselku mati dari semalam. Aku tidak pulang juga tidak tidur semalaman. Seharusnya aku mengantuk tapi tidak. Aku lelah secara fisik dan mental, iya.
Aku tidur telentang dengan tangan di atas dada. Mataku menerawang ke atas menghitung garis diantara petak langit-langit lalu percakapan dengan Lukas kemarin kembali terngiang-ngiang, bersahut-sahutan.
Ting!
Aku terkesiap mendengar bunyi denting ponsel. Lalu sedetik kemudian diikuti bunyi berkali-kali sahut menyahut. Pelan tanganku terulur meraih ponsel lalu kulihat tiga puluh lima panggilan tidak terjawab dan hampir tujuh ratus lima puluh pesan yang belum terbaca. Aku tidak terkejut dengan pesan sebanyak itu karena sebagian besar pasti dari percakapan grup. Tapi tiga puluh lima panggilan tidak terjawab, dua puluh diantaranya dari Chris, sepuluh dari Abimanyu sisanya dari beberapa teman.
Aku baru saja akan menelepon balik Abimanyu saat pesan darinya masuk.
Ibu sudah di rumah sakit
Sontak mataku terbelalak dan tubuhku bangun seketika. Aku menekan ikon panggil dan suara Abimanyu terdengar lima detik kemudian.
"Bi, ibu kenapa?"
"Mbak Dian, aku lagi ada bimbingan. Mbak telepon mbak Yuni aja." Jawabnya dengan suara hampir tak terdengar.
Tanpa ba bi bu aku langsung menelepon mbak Yuni.
"Halo, mbak. Kata Abi, ibu masuk rumah sakit."
"Iya, yan. Tapi Alhamdulillah udah nggak papa. Hari ini sudah boleh pulang, cuma kecapean aja."
Aku tidak percaya begitu saja.
"Mbak, berikan ponselnya pada ibu. Aku mau ngomong."
Pintaku dengan galak.
Aku tahu ibu ada dibalik kalimat yang disampaikan mbak Yuni barusan. Sepuluh detik kemudian aku mendengar suara desahan napas. Ibuku sekali.
"Jangan galak-galak sama mbakmu."
"Apa kata dokter, bu?" tanyaku cemas.
Aku bisa mendengar ibu mengambil napas panjang lalu mengeluarkannya dengan pelan. "Biasa, penyakit orang tua. Kolesterol." Jawab ibu santai.
Entah pendengaranku benar atau tidak, samar-samar terdengar bunyi teratur seperti suara dari alat pendeteksi detak jantung. Mendengar itu, pikiranku langsung kemana-mana. Tapi aku segera menggeleng-gelengkan kepala membuang pikiran buruk yang tiba-tiba saja muncul.
"Apa yang ibu makan? Daging? Jeroan? Kambing? Es cendol? Apa bu coba sebutkan?"
Kudengar ibu tertawa kecil.
"Nggak usah mikirin ibu. Ibu nggak apa-apa." Jawab ibu pelan. "Sekarang mana si Charlie Caplin itu? Katanya mau mampir. Ibu tunggu-tunggu nggak muncul juga."
Aku tersentak mendengarnya. "Alvin nelpon ibu?"
"Iya, belum lama. Kapan yun?"
Mbak Yuni menjawab di belakang, namun suaranya tidak jelas terdengar.
"Ya pokoknya belum lama." Jawab ibu kemudian.
Aku mencengkeram ponselku tanpa kusadari. Kenapa Alvin selalu melakukan hal-hal ceroboh seperti itu.
"Kamu baik-baik saja kan sama dia?"
"Baik bu. Dia lagi banyak urusan aja. Nanti juga gangguin ibu lagi." Aku mencoba bergurau.
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...