8. Memory

2.4K 164 20
                                    

"Apa kau putus asa sampai melakukan hal seperti ini? Count Jimin! Setidaknya ingat alasanmu bertahan di negara ini."

Pria itu mengalihkan pandangan dari berkas-berkas di atas meja menatap Taehyung. Pemuda tinggi yang sudah hampir dua minggu ini terlalu sibuk menggantikannya. Tidak lain karena panggilan Taehyung barusan, sudah terlalu lama sejak dia mulai tinggal di sini, maka tidak ada seorang pun yang memanggil gelar kebangsawanan pria sipit itu.

"Kau tidak mengerti."

Suara Jimin terdengar begitu ringan, penampilannya juga tampak sangat baik. Dia seperti pria yang baru mendapatkan lotre jutaan dolar. Sementara Taehyung berkacak pinggang, bersender di meja kerja Jimin dengan mantel panjang membungkus tubuh tingginya. Celana dasar yang nampak begitu kusut serta rambut berantakan.

"Segeralah cari sekretaris baru Jimin. Irene menghindariku."

"Hm? Kurasa kau yang tak bisa membagi waktumu."

"Yak! Itu karenamu!"

"Hehe. Maaf" pria sipit itu hanya bisa tersenyum. Jauh di dalam hatinya menyadari semua yang terjadi tepatnya dua minggu ini. Taehyung telah bekerja sangat keras, sebagai seorang teman maupun pengganti Jimin.

"Kalau begitu kau bisa pulang lebih cepat hari ini."

"Yah. Jika tidak aku akan mengundurkan diri. Aku pergi!" kini ia mengambil cepat tas kerja lalu beranjak meninggalkan ruang kerja Jimin.

Satu bulan lagi. Jimin menerawang jauh dari pikirannya. Pikiran pria itu merasa nyaman, dia menikmati kebersamaan dengan Seulgi. Andai saja sejak dulu dia bisa bersikap begitu baik, membawa Seulgi memahami tentang dirinya. Mungkin semua tidak akan serumit ini.

Kenapa jatuh cinta menjadi sulit saat ego berusaha menguasai diri? Perasaan itu tumbuh perlahan seperti bibit pohon. Kini berusaha mengakar agar bisa bertahan.

Lalu tentang sang mawar...

Perempuan itu sedang berdiri memandang ke bawah dengan alis terangkat. Box kecokelatan yang entah sejak kapan telah ada di taman kecil miliknya.

Apakah Jimin yang memberikannya untuk Seulgi? Bukankah pria itu bersikap sangat baik belakangan ini. Ah tidak, tepatnya setiap kali Seulgi berhasil membawa Jimin pada puncak kenikmatan seks mereka. Tapi menjadi lebih lembut dalam beberapa minggu terakhir. Seulgi sedikit bingung mengenai apa yang ada di antara mereka.

Ia berjongkok membuka box kecokelatan itu karena penasaran sebab ada beberapa helai daun berwarna hijau terlihat dari sela-sela kotak.

"Oh? Apa ini?"

Bunga matahari di dalam pot. Perempuan itu semakin mengernyit. Biasanya Jimin membelikan bibit mawar kepada Seulgi, tapi kenapa kali ini berbeda.

"Nona maaf aku terlalu lama. Wahh cantik sekali. Apa tuan muda yang memberikannya?"

Seulgi menatap ragu pada Jisoo yang ikut berjongkok di sebelahnya. Perempuan itu baru saja kembali bergabung bersamanya.

"Kurasa begitu," Ia memberi jawaban singkat.

"Boleh kukeluarkan?" Jisoo meminta izin. Seulgi menganggukkan kepalanya.

Hari itu, menjadi tak terduga sama sekali. Seulgi telah duduk di taman mansion cukup lama. Mengayunkan ayunan yang sejak seminggu lalu muncul di mansion mewah ini. Tatapannya mengarah pada bibit bunga matahari yang baru saja dipindahkan.

"Susu hangat?"

"Oh?" Seulgi terlonjak kaget saat sesuatu yang hangat menyentuh pipi kirinya. "Te-terima kasih."

Sehun. Pemuda itu muncul dengan secangkir susu putih yang terasa hangat. Seulgi menelan ludahnya, percayalah Seulgi tak menyukai susu putih. Satu teguk bisa membuatnya merasa begitu mual. Sama seperti hari itu, Sehun membawakan susu putih untuknya. Pemuda itu kini duduk di sebelah Seulgi. Tatapan mereka mengarah pada tanah basah yang sama. Tempat dimana bunga matahari itu sedang berusaha beradaptasi.

𝙇𝘼𝘿𝙔 𝙍𝙊𝙎𝙀 [𝙈] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang