33

290 41 19
                                    


"Maksud kamu apa sih, Rin? Aku lagi capek, gak mood buat bercanda."

"Aku gak lagi bercanda, Gi."

Keduanya kompak terdiam, bibir mereka saling terbungkam. Tetapi mata mereka tampak berkaca-kaca, menyadari jika hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk.

"Aku tau ini bakal nyakitin buat kita, tapi kalo kita lanjutin hubungan ini terus; endingnya bakal sama, Gi. Aku harap kamu tau itu." Ucap Aurin, melihat tatapan kosong dari kedua manik kecoklatan milik Regie membuatnya merasa seperti orang jahat. Dia tidak boleh goyah, dia tidak boleh egois. Dan dia tidak mau menghancurkan hidup gadisnya itu, cukup sampai di sini saja keegoisannya.

"Aku gak peduli apapun rintangannya, aku akan tetap merjuangin kamu. Kamu juga udah bilang kan, kalo mau perjuangin hubungan ini bareng aku? Please jangan kayak gini," kini Regie telah mengubah duduknya dari kursi ke lantai, bersimpuh di depan kaki sambil menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan. Menggenggam erat tangan mungil Aurin diantara sela jarinya.

"Gak bisa, Gi. Aku tau kamu capek ngejalanin ini semua yang kita aja gak tau ada titik terangnya atau enggak."

"Aku gak pernah capek, selagi kamu selalu ada sama aku."

"Regie ... aku tau kamu capek, itu sebabnya aku pingin kita akhirin aja semuanya. Toh, Papa aku gak akan ngerestuin kita." Ucapan Aurin membuat Regie terdiam, dia baru menyadari jika alasan terbesar Aurin ingin melepasnya yaitu karena Galuh.

Seketika itu, memori tentang pertemuannya dengan Lami juga teringat jelas. Regie masih ingat perkataan Lami, jika hubungan dia dengan Aurin sudah terlanjur salah.

Regie tau jika ini salah, tapi semuanya tampak rumit. Apalagi jika keadannya sama-sama perempuan. Dia ingin sekali bertindak egois dengan membawa Aurin pergi ke tempat terjauh yang bisa ia capai, tetapi kewarasannya lebih cepat mengambil alih.

Lari bukanlah suatu hal yang dapat menyelesaikan permasalahan. Dia dan Aurin juga masih mempunyai keluarga masing-masing, mereka akan sangat kecewa jika anak yang dari kecil di besarkan dengan kasih sayang malah membangkang dan melakukan penyimpangan.

Haruskah Regie mengiyakan perkataan Aurin? Mungkin ini saatnya mereka untuk menata hidup yang lebih baik.

"Rin ... Papamu ngomong apa sama kamu?" Aurin hanya menggeleng, air matanya kian menderas ketika mengingat percakapan antara dirinya dengan sang ayah tadi sore.

Regie menggenggam erat kedua tangan Aurin yang lebih mungil, lalu menciumnya beberapa kali. Tanpa Aurin menjawabpun, Regie sudah mengetahuinya.

Biarkan mereka berdua mengorbankan segalanya untuk kebaikan bersama walaupun akan terasa sakit. Lebih baik berpisah sekarang daripada menunda-nunda dan akan menghasilkan rasa sakit yang lebih dalam.

Untungnya disini, Aurin dan Regie sama-sama mempunyai pemikiran yang dewasa.

"Kalo itu mau kamu ... aku akan turutin. Ayo kita berpisah dengan baik-baik."

Perkataan itu keluar dari bibir tipis Regie dengan lancar, gadis itu mati-matian menahan air matanya agar tidak keluar. Berpura-pura kuat di depan Aurin, walaupun hatinya terasa tercubit, teremas, atau apapun diksi yang tepat untuk menggambarkan rasa sakit hatinya.

Sama dengan Aurin, bernapas saja terasa susah sekali untuk ia lakukan. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya. Aurin hanya bisa berpasrah, ini kemauannya. Dia tidak boleh goyah.

Tepat malam ini, hubungannya dengan Regie yang telah terbina selama 3 tahun selesai.

Tangan mungil Aurin hanya bisa mengusap lembut puncak kepala Regie yang masih setia menatapnya dengan tatapan sendunya. Di saat seperti ini, rasanya ia sangat ingin memeluk Regie dengan erat sambil membisikkan jika ia sangat mencintai Regie. Namun realita sudah berbeda sekarang.

Pena Ajena [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang