13

267 50 13
                                    

Suara langkah sepatu yang menghentak diatas lantai membuat kegiatan Galuh terhenti. Pria yang saat ini sedang berbicara lewat telepon itu segera berdiri, dan berjalan menjauh. Seakan panggilan telepon yang dia dapatkan sangatlah penting dari apapun.

"Kirim aja ke saya, terima kasih sudah mempermudah masalah saya." Lami memakan sarapannya dalam diam, menatap sosok ayahnya yang kembali terduduk didepannya. Bayang-bayang kejadian semalam tak luput dari pikiran Lami saat ini, namun dia bersyukur saat ayahnya tidak memberinya pelajaran yang semula menghantuinya.

Semalam setelah sampai dirumah, Lami bahkan sudah menyiapkan diri untuk dimarahi oleh Galuh. Tetapi pria itu hanya menatapnya diam dan setelah itu pergi meninggalkannya diruang tamu. Cukup aneh menurutnya, Galuh adalah sosok yang tidak suka kemauannya dilanggar. Jadi, saat semalam pria itu lebih memilih diam membuat Lami kepikiran. Pemikiran Galuh sangat tidak bisa ditebak oleh siapapun.

"Papa yang nganter kamu hari ini, ayo!" Melihat ayahnya sudah bersiap, mau tak mau Lami segera menaruh roti selainya diatas piring dan segera meneguk segelas susu yang disiapkan oleh Bi Yati. Mengikuti langkah ayahnya yang sudah berjalan keluar dan memasuki mobilnya.

"Papa gak bermaksud buat ngatur circle pertemanan kamu," Lami terlonjak mendengar Galuh tiba-tiba mengatakan hal seperti itu. Terdengar nada lelah dari kata yang tadi Lami dengar, dan saat ini dirinya hanya terdiam menatap sang ayah yang sedang fokus menyetir.

"Papa cuma gak mau kamu terjerumus ke pergaulan yang gak sehat. Maka dari itu, Papa ngelakuin semua ini. Sama kayak apa yang Papa inginkan dari Aurin, tapi anak itu malah membangkang. Dasar tak tau diuntung."

"Aku tau maksud Papa ngelakuin ini itu demi keselamatan aku, tapi bukan kayak gini caranya. Bukan dengan cara ngerendahin mereka," Ucap Lami menatap kedepan, mengabaikan tatapan ayahnya yang sesekali meliriknya. Gadis itu ingin sekali Papanya mengerti, walaupun hanya untuk kali ini saja. Biarkan Lami mengeluarkan segala keluh kesahnya kepada sang ayah.

"Asal Papa tau, orang yang Papa remehin dan rendahin selama ini; mereka lah yang bikin aku semangat untuk hidup lebih baik. Bahkan mereka bisa ngasih apa yang gak bisa aku dapetin dari keluarga ini... Dari Papa dan dari Kak Aurin. Mereka ngasih aku segalanya."

Cengkeraman tangan Galuh distir mobil mengerat, mendengar seruan lirih dari anak bungsunya membuat napasnya sesak. Dia tau jika semua yang selama ini dirinya lakukan adalah sebuah kesalahan, dan dirinya baru menyadari jika sikap pembangkang Aurin; terlahir dari segala kekerasan yang dirinya lakukan kepada gadis malang tersebut.

"Bahkan sikap Papa yang kayak gini... Nyaris bikin hubungan persahabatan aku sama Eri putus. Dia anak baik, Pa. Dia bukan anak berandal kayak yang Papa pikirin."

Air mata yang sedari tadi Lami tahan, kini telah keluar setetes demi setetes. Dengan segera gadis itu menghapusnya dengan lengan. Beralih menatap kesamping jendela, memperlihatkan gedung-gedung pencakar langit yang tampak megah menghiasi jalanan ibukota. Dia tau jika ayahnya sedang mencoba memahami apa yang tadi ia katakan, Lami berharap setelah ini sikap ayahnya akan berubah.

"Sepeninggalnya Renita membuat semuanya berantakan, termasuk keluarga ini. Maafin aku Renita." Hanya itu yang bisa Galuh gumamkan dalam hati. Benar, dirinya sangat merasa gagal menjadi seorang kepala rumah tangga.

Semua berawal dari seorang wanita yang mempunyai status sebagai istrinya. Renita.

Wanita yang membuat hidup Galuh menjadi seperti ini, dan dialah wanita yang membuat dunianya hancur. Perselingkuhan yang Galuh lihat secara langsung didepan matanya membuat amarahnya memberontak ingin dikeluarkan. Semua cinta yang Galuh berikan ke Renita tidak ada artinya saat itu, membuat hubungan mereka kian merumit. Puncaknya, saat hari itu Renita memilih untuk bunuh diri karena sudah tidak tahan dengan makian dari Galuh dan perasaan bersalahnya dengan suaminya.

Pena Ajena [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang