23

181 44 14
                                    

Sepertinya terbangun dari tidur di tengah malam adalah hal biasa untuk Lami. Gadis itu seringkali merasa kerongkongannya kering, dan memilih untuk bangun lalu berjalan menuju dapur. Membuka kulkas dan mengambil sebotol air mineral.

Setelah rasa hausnya hilang, Lami mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Pikirannya kembali mengulang kejadian tadi sore, gadis berpiyama navy itu hanya bisa menghela napas. Jika tau akan seperti ini jadinya, dirinya lebih memilih memendam masalah ini sendiri. Lami juga takut jika Eri dan Qory akan menjauhinya juga.

"Ini semua masalah Kak Aurin, kenapa gue ikut terlibat...."

Suara sendal yang beradu dengan lantai membuat lamunan Lami terhenti, gadis itu dengan spontan menoleh kearah belakang.

Di sana, dengan setelan piyama senada berwarna ungu; Aurin berdiri canggung. Dengan penerangan yang remang-remang, Lami masih bisa melihat wajah sang kakak yang nampak terkejut. Mungkin tidak menyangka jika Lami berada di dapur saat tengah malam seperti ini.

Lami yang merasa aura kecanggungan dari sang kakak memilih untuk berdiri, dirinya sedikit memberi senyuman kepada Aurin yang masih terdiam si tempat. Langkah Lami terdengar menggema, kontras dengan keheningan yang tengah melanda.

"Habis ngapain?"

Jantung Lami serasa berhenti berdetak. Berlebihan memang, namun memang begitu adanya. Suara Aurin bagai mantra sihir yang membuat tubuh Lami kaku. Ini adalah obrolan pertama mereka setelah beberapa tahun saling bungkam.

"Lami?"

Dan inilah kali pertama Aurin memanggil nama adiknya. Gadis itu tidak akan tahu jika Lami merasa ingin menangis sekarang, dirinya jelas terharu dengan apa yang sedang terjadi. Ternyata kehausannya di tengah malam tidak buruk juga.

Dengan perlahan Lami membalikkan badan mungilnya, tatapannya beradu pandang dengan netra indah sang kakak. Senyuman di bibir Lami tidak bisa ia sembunyikan, sangat kontras dengan ekspresi Aurin yang tampak biasa saja.

"Habis minum, tadi haus," jawab Lami dengan suara yang sangat kecil, persis seperti suara anak kucing. Aurin yang mendengar hanya menganggukkan kepalanya. Kedua gadis itu hanya saling tatap, tatapannya seakan berbicara banyak hal di saat bibir tidak bisa diajak kompromi. Sebenarnya Lami ingin sekali mengajak kakaknya berbicara lebih lama lagi, namun entah mengapa melihat wajah Aurin yang tampak datar membuat niatannya terurung.

Di rasa tidak ada yang akan memulai percakapan, Lami memilih pamit. Dan meninggalkan Aurin sendirian di tengah dapur dengan keheningan yang menemani. Tatapan mata datar yang sedari tadi ia tampilkan, kini berubah menjadi sendu. Punggung mungil Lami sudah tidak terlihat, dan kini Aurin benar-benar sendirian.

Aurin merindukan kedekatannya dengan Lami seperti dulu, saling mengejek dan juga melindungi. Tapi itu dulu, sebelum kematian ibunya yang mengubah segalanya. Dia tau jika semua yang ia lakukan egois, dengan cara dirinya menyalahkan Galuh atas kematian Renita juga sangat egois. Aurin sadar.

Aurin benar-benar terpukul saat sang ibu tiada. Yang bisa dia lakukan hanyalah menangis.

Namun semakin menambahnya umur, dia jelas bisa berfikir lebih rasional. Dia juga sudah berjanji dengan Regie untuk memperbaiki hubungannya dengan sang ayah dan Lami, walaupun dengan sedikit upaya.

Akhir-akhir ini dirinya juga sudah tidak terlibat keributan dengan Galuh. Semenjak kedatangannya di kantor sang ayah, sikap Galuh nampak lebih tenang. Sangat berbeda dengan Galuh yang tempramental seperti dulu. Aurin jelas bersyukur akan hal itu, namun  semuanya terasa janggal.

Walaupun terkesan tenang, tidak menutup kemungkinan jika pria tersebut tengah merancanakan sesuatu yang akan terjadi di beberapa hari kedepan, kan?

Pena Ajena [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang