29

193 38 10
                                    

Sesampainya dirumah, Lami segera memasuki kamarnya tanpa mengatakan sesuatu dengan sang ayah. Lalu segera menyembunyikan wajahnya dibawah bantal sambil mengerang kesal, dia merutuki perkataannya tadi kepada ayahnya.

Lami tidak yakin bisa menjauhkan Aurin dengan Regie, dia harus melakukan apa? Lami bingung. Disisi lain, dirinya juga tidak tega jika harus memisahkan dua orang yang saling mencintai. Namun jika didiamkan, kondisinya akan semakin memburuk. Harusnya dia bersyukur karena Galuh mengiyakan perkataannya, coba kalau tidak? Pasti beberapa jam kedepan akan ada keributan besar antara Galuh dan Aurin. Dan jangan lupakan ancaman Galuh yang akan menghancurkan kafe punya Regie.

Hati Lami semakin gelisah, masalahnya disekolah memang sudah clear. Namun tetap saja dirinya sering memikirkannya, apalagi akhir-akhir ini Jimi sama sekali tidak muncul. Membuat Lami makin gelisah entah mengapa. Ditambah lagi dengan janjinya dengan sang ayah. Lami makin pusing.

Gadis berseragam tersebut terduduk, menyingkirkan bantal yang tadi menutupi kepalanya. Tatapannya menyiratkan kegelisahan yang tidak berujung, jika ini waktu lain; pasti Lami akan segera menceritakan segala keluh kesahnya kepada teman-temannya. Tangan mungilnya meraih ponsel berwarna hitam dari sakunya, segera membuka ruang obrolan grup yang sudah beberapa hari ini tampak sepi.

"Gue kangen kalian." lirih Lami, jarinya tampak giat menscrool obrolan tak berfaedah dari grup yang dinamai SEMUA SYG DEDEK WONNY. Sekarang grup tersebut seperti tidak berpenghuni, padahal anggotanya masih lengkap.

Lami menghela napas panjang, dirinya segera mematikan ponselnya dan kembali tidur terlentang. Netranya kini terhenti tepat di meja belajarnya yang tampak berantakan dengan buku yang tidak disusun dengan rapi, bukan itu yang Lami lihat. Tetapi sebuah benda tajam yang terletak tepat diatas buku cetak Matematikanya.

Dengan cepat, Lami segera mengambil benda tersebut. Sebuah gunting.

Jari mungil Lami tampak mengelus benda berwarna hitam tersebut, lalu sebuah ide muncul dikepalanya.

Mata bulatnya tampak awas saat membuka pintu kamar, dengan sekuat tenaga Lami tidak menimbulkan suara. Tujuannya saat ini adalah toilet, dengan gunting yang berada digenggamannya; Lami melangkah dengan cepat namun hati-hati untuk sampai di toilet yang tidak berada jauh dari kamarnya.

Hembusan napas lega ia keluarkan saat telah sampai di dalam toilet dengan aman, tangannya segera menggenggam gunting dengan erat. Mengarahkan disamping lehernya, saat ini Lami menatap pantulan wajahnya didepan cermin toilet. Sedikit menyunggingkan senyumannya, sesaatnya; Lami menutup kedua matanya erat.

Genggaman tangannya diantara ujung tuas gunting mengerat, dengan sekali hentakkan;

Rambut kecoklatannya berjatuhan dilantai, namun Lami tidak peduli. Dirinya terus melanjutkan menggunting rambutnya tanpa ragu. Dan kini terpampang jelas sosoknya yang terlihat berbeda dengan rambut pendek yang tidak rapi. Disebagian sisi terlihat masih panjang dan sisi lain pendek, Lami meletakkan guntingnya di lantai. Lalu menatapi wajahnya sendiri, dia tidak tahu jika melakukan hal ini membuatnya lega bukan main.

Seperti beban masalahnya seketika menghilang, bahunya terlihat lebih ringan daripada biasanya. Jika kalian berpikir kalau Lami akan melakukan hal seperti itu, maka kalian salah. Gadis cantik tersebut masih sayang nyawa, dan masih berhutang janji kepada ayahnya. Tidak mungkin Lami akan melakukan hal konyol yang akan merenggut nyawanya sendiri, Lami tidak bodoh.

Belum selesai bercermin, pintu toilet terbuka lebar. Mata Lami membulat saat melihat Aurin terperangah ditempat sambil menutup mulutnya menggunakan tangan.

"Lami, apa yang kamu lakuin?!"

XXX

"Kenapa kamu ngelakuin ini?" Aurin bertanya setelah dirinya berhasil mendudukkan adiknya  didalam kamarnya. Yang ditanya hanya bisa menunduk tanpa berani menatap kearah kakaknya, membiarkan Aurin merapikan beberapa helai rambut yang belum rapi menggunakan gunting.

Pena Ajena [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang