Bab 1. Permulaan

107K 1.8K 141
                                    

Namaku Ningsih Sri Astuti. Biasa dipanggil Ning, atau Sih. Tapi aku lebih suka dipanggil Ning yang dalam bahasa Jawa artinya Nona muda. Sesuai sama usiaku, dua puluh tahun. Aku tidak mau dipanggil Sri atau Tuti. Karena di desa Kanyoran banyak nama seperti itu.


Saat ini aku sedang menghadiri pemakaman Mas Jaka, mantan tunanganku. Entah mantan atau bukan, soalnya kami nggak pernah ditunangkan secara resmi, hanya perjodohan lisan antara kedua orangtua kami.

Ya, benar. Mas Jaka baru saja meninggal. Sia-sia usaha Maya menjual diri di kota demi biaya pengobatan mas Jaka. Nyatanya, laki-laki ganteng itu mati juga.

Mungkin Mas Jaka kualat sudah menolak perjodohan kami, malah lebih memilih perempuan binal seperti Maya. Sekarang lihat, mati kan dia? Itu hukuman dari Tuhan karena sudah berani menolakku.

Tapi aku bersyukur. Seandainya dia tidak menolak perjodohan kami, dan mau menikahiku, mungkin nasibku akan sama seperti Maya. Ditinggal mati waktu sedang hamil delapan bulan. Amit-amit.

Perempuan berperut buncit itu sekarang sedang menyanyikan lagu sholawatan di kuburan basah Mas Jaka. Dia sudah seperti orang tidak waras. Mudah-mudahan saja dia tidak gila sungguhan. Kasihan bayinya kalau sampai Maya gila. Sudah bapaknya meninggal, ibunya gila pula. Ngenes!

Tatapanku beralih pada tamu-tamu yang datang di pemakaman ini. Mereka semua tampak seperti orang kaya. Ada dua bapak berpakaian setelan jas hitam yang terlihat mahal. Walaupun usia mereka --sepertinya-- seumuran Bapakku, tapi wajah mereka jauh lebih ganteng dari Bapakku. Pembawaan mereka juga berkelas, kelihatan kalau mereka adalah orang-orang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Belakangan baru aku tahu bahwa mereka adalah kontraktor terbaik se-pulau Jawa.

Di antara para tamu itu ada Bapak GM resor Puhsarang yang diisukan punya hubungan gelap dengan Maya. Kalau tidak salah namanya Liand. Maya pernah menjual tubuh pada pria itu untuk biaya operasi Mas Jaka di Singapura. Beberapa warga desa bahkan bergosip bahwa anak yang dikandung Maya itu anak Pak Liand, bukan anak Mas Jaka. Aku tidak tahu mana yang benar. Tapi kalau dilihat dari kelakuan binal Maya, gosip itu mungkin saja benar.

Ada lagi tamu bule laki-laki tampan bermata biru, didampingi laki-laki berambut cepak yang juga tampan. Aku tidak tahu siapa mereka. Tapi sama seperti tamu-tamu lain yang berasal dari kota, tubuh atletis mereka dibalut setelan jas warna hitam. Penampilan mereka semua terlihat sangat berkelas. Seolah mas Jaka ini orang penting selevel pejabat.

Tidak heran. Alarmarhum Mas Jaka memang orang yang baik. Walaupun sudah menolak perjodohan kami, semasa hidupnya dia tetap bersikap baik padaku. Tidak seperti Maya yang pembawaannya ingin mencakar wajahku saat berpapasan denganku di jalan.

Ah, sudahlah.

Dari tadi aku bercerita soal Mas Jaka dan Maya terus. Ini kan ceritaku. Seharusnya aku bercerita tentang diriku sendiri bukan tentang mereka.

"Ning, Cah Ayu. Ayo ngewangi Bude Parmi masak soto nggawe tamu. (Ayo bantu bude Parmi masak soto untuk tamu)." Ibu membuyarkan lamunanku.

Sambil membenahi jilbab hitamku, aku menganggukkan kepala. "Nggih, Bu."

Sebelum aku ikut berjalan bersama Ibu menuju dapur Bude Parmi, laki-laki yang berdiri di sebelah pria bule itu menolehkan kepala padaku. Kami bertemu pandang. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum sebagai bentuk keramahan. Dia balas tersenyum padaku.

Dan senyuman itu ... menawan hatiku.

*****

Aku disuruh Ibu datang ke acara selamatan tujuh harinya Mas Jaka.

Ningsih, Wanita SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang