"Working up between yourselves,"
Chris memegang kedua bahuku seraya menatapku lembut. "He deserves to know about us.." Tambahnya.
Aku mengangguk pelan. Aku bisa melihat ada kecemasan di matanya. Sebelum aku meninggalkan kamar, dia mengecup lembut keningku dan berkata lagi. "I trust you."
Alvin datang ke rumahku seminggu kemudian. Aku berdiri sejenak dari balik tirai, mengamatinya yang sedang duduk di ruang tamu. Dia tidak terlihat seperti Alvin yang selama ini kukenal, yang selalu terlihat rapi dan parlente. Apakah selama hampir satu setengah bulan ini dia tidak mengurus dirinya dengan baik? Rambutnya yang sedikit lebih panjang terlihat acak-acakan, wajahnya terlihat lelah dan aku yakin dia tidak merapikan kumis dan berewoknya karena terlihat lebih tebal dari biasanya itu.
Aku menghela napas pelan sebelum mekangkahkan kaki ke ruang tamu dan menyapanya.
"Alvin..."
Alvin yang saat itu memakai sweater turtle neck warna hitam serta merta menoleh.
"Hai, Diana..."
Dia berdiri sementara aku berjalan mendekat ke arahnya. Aku tersentak saat dia tiba-tiba memelukku tanpa aba-aba. "Aku turut berduka atas apa yang terjadi pada ibumu." Katanya. Lalu sepuluh detik kemudian melepaskan pelukannya dan menatapku lamat-lamat. "Aku juga minta maaf atas semua yang terjadi diantara kita. Aku-"
"Vin, duduk dulu.." potongku sebelum Alvin sempat menyelesaikan kalimatnya.
Alvin menurut dan duduk di sebelahku.
"I'm so glad to see you.." katanya lagi.
"Me too.." Hanya itu jawaban yang kuberikan. Aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk memberitahu bahwa aku sudah menikah dengan Chris. Aku juga tidak tahu apakah dia masih menganggap hubungan kami masih sama seperti setengah bulan yang lalu atau tidak. Jika iya, aku pasti akan sangat menyakitinya. Tapi aku tetap harus memberitahunya apapun resikonya, bukan?
"How's Julie? aku harap dia sudah jauh lebih baik." aku bertanya, berusaha membuka jalan ke arah sana.
Alvin mengangguk. "Ya. Sudah lebih baik. Thanks for asking."
"Syukurlah kalau gitu." Balasku canggung.
"Diana-"
"Vin, I want to tell you something." Lagi-lagi aku memotong. Kupikir inilah saatnya aku harus memberitahunya. Aku tidak mau mengulur-ulur waktu.
"Tell me then."
Aku menelan ludah, berusaha merangkai kalimat yang tepat. Namun sebelum aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, Indah, perempuan delapan belas tahun yang sehari-hari membantu ibu mengurus rumah tangga, muncul dan menanyakan sesuatu yang membuat segalanya jadi lebih mudah.
"Mbak Dian, maaf tadi mas Chris minta dibawakan handuk, Indah taruh dimana ya mbak?"
Aku menatap Alvin sejenak sebelum menoleh ke arah Indah dan menjawabnya. "Taruh di kamar aja ndah, dia disana."
Indah menurut dan segera masuk ke dalam. Sementara aku melihat ada kebingungan di wajah Alvin.
Ya, inilah saatnya.
"Chris disini?" Tanya Alvin lebih dulu dengan nada curiga.
Aku mengangguk pelan.
Lalu matanya menunduk menatap cincin yang tersemat di jari manisku dan ekspresinya berubah. Sebelum dia bereaksi lebih jauh aku memberitahunya.
"I married him." Aku memberitahu dengan nada pelan dan hati-hati.
"You what?!" Tanya Alvin dengan nada sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Terkejut.
"Aku sudah menikah dengan Christopher, Vin." Aku menegaskan. "Di hari dimana ibu meninggal."
Aku berharap kalimatku tidak terlalu menyakiti hatinya meskipun hal itu sangat tidak mungkin.
Alvin tidak mengatakan apa-apa setelah itu kecuali menggeser tubuhnya sedikit menjauh dariku dan menatap keluar selama beberapa menit, kemudian menunduk entah memikirkan apa. Hal itu membuatku sangat merasa bersalah. Karenanya aku meraih tangan Alvin dan menggenggamnya.
"Aku minta maaf, Vin."
Aku ingin mengatakan lebih dari sekedar permintaan maaf, tapi aku yakin hal itu hanya akan membuat perasaanku saja yang menjadi lebih baik, bukan perasaannya, jadi aku tidak melakukannya.
"Are you in love with him?" tanya ALvin kemudian.
Aku mengangguk setelah jeda beberapa detik. "Yes, perhaps I think I am. I think I may have loved him for much longer than I knew.."
Aku menunduk, mulai terisak. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan menyakitinya seperti ini namun berharap bahwa dia tidak merasakannya. Kuakui, aku sangat egois. Amat sangat.
"Hei," Lirihnya setelah kembali hening selama beberapa saat.
Tangan Alvin terulur, mengangkat wajahku.
Saat itu air mataku serta merta keluar tanpa bisa kutahan lagi saat melihat wajahnya yang ternyata jauh lebih tenang dari pada yang kuharapkan.
"I only want to say one thing and we will forget it forever.." kataku.
Alvin mengangguk.
Lalu aku meneruskan. "I've always loved you, you know that, right? But how I feel about Chris is something different and we're husband and wife now and..." Aku menggantungkan kalimatku, melihat bagaimana reaksi Alvin. "...and I think it was meant this way.."
Untuk sesaat kembali tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Alvin. Dia hanya menatapku lekat-lekat dengan tatapan seperti mencari-cari sesuatu lalu menganggukkan kepalanya dan berkata. "It hurts me so much in a first place, to be honest." Akunya.
Hal itu membuatku semakin terisak. Namun dia segera mengusap air mataku. "Hei, it's oke. Don't worry about me. Seriously." Katanya lagi berusaha menghiburku. "You deserve it and I think you were right, this was meant to be."
Aku kehilangan kata-kata.
"And we'll still be friends, no?"
Seketika aku tertawa pendek diatantara isakanku begitu mendengar pertanyaannya. "Yes. Yes, you are my best friend and forever will be." Kataku dengan perasaan lega luar biasa.
Alvin ikut tertawa meskipun mungkin jauh di lubuk hatinya dia merasakan sebaliknya.
"Actually, I was worried," kataku jujur.
"About what?"
"You would be angry at me.."
Alvin terkekeh meskipun terdengar ganjil, lalu menurunkan tangannya yang menangkup wajahku. "Well, I was." Jeda sejenak sebelum dia melanjutkan. "But seconds later I realize that anger would change nothing. I will not only lose you as my lover but also as my best friend. I can't bear it."
Aku kembali meraih tangannya. "Thank you,"
Alvin mengalihkan tatapannya dariku ke arah lain.
"I really miss your mom," katanya dengan nada melamun. "Terakhir kali aku bicara dengan beliau, aku membuatnya sedih dan marah."
Aku menatapnya, sama sekali tidak tahu kapan dan apa yang Alvin katakan pada ibu sampai-sampai membuat ibu sedih dan marah. Mungkin ada banyak hal yang tidak kuketahui tentang Charlie Chaplin dan ibu, hubungan mereka mungkin lebih dekat dari pada yang kubayangkan. Namun satu hal yang aku tahu dengan pasti, kini sudah tidak ada lagi Charlie Chaplin dan ibu, hanya ada Charlie Chaplin dan aku.
Pelan-pelan aku meraih bahunya dan menariknya ke dalam pelukan. Pelukan persahabatan.
"Mee too."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
AFTER HEARTBREAK
RomanceUmurku sebentar lagi 30 tahun, single. Ibuku, yang memang hidup in a society that marriage is every woman's expected path to success, tentu saja sudah mulai resah. Yes, orang yang paling sering menanyakan kapan nikah tidak lain dan tidak bukan adala...