Kadang manusia egois. Mereka ingin dimanusiakan tapi mereka tidak bisa memanusiakan orang lain.
Angin berhembus pelan memasuki kamar Anta. Jendela sengaja Anta buka karena ia membutuhkan udara segar, angin berhembus membuat gorden berwarna abu-abu seakan-akan menari untuk menghibur Anta yang duduk termangu di meja belajarnya.
Sorot matanya fokus ke luar jendela. Di tatap rintik gerimis yang kembali berjatuhan dari atas langit. Hari ini penuh dengan hujan, cuaca tidak menentu, bahkan perasaannya juga tidak menentu.
Di hembuskan nafasnya kasar, tangannya terulur untuk menutup pulpen yang ia gunakan tadi. Di rapikan alat tulis yang ada di mejanya, ia susun serapi mungkin di sudut meja belajarnya.
"Anta!" Suara dari luar kamarnya terdengar. Suara hangat dan lembut masuk ke dalam telinga dengan merdu.
"Iya bunda, masuk aja," jawab Anta. Ia berdiri untuk menutup jendela kamarnya.
"Turun, makan malem, yuk."
Anta membuka pintu kamarnya yang sedari tadi masih tertutup. Walaupun hanya menggunakan daster tapi bundanya tetap terlihat cantik, sangat cantik.
"Iya bunda," kata Anta lalu mengecup kening bundanya singkat. Ia menarik gagang pintu kamarnya untuk di tutup.
"Anak sama ibu nggak ada bedanya. Udah lebay, alay lagi," cibir Dito yang baru saja keluar dari kamarnya. Padahal hati Dito sedikit sakit melihat interaksi antara ibu dan anak di depannya tadi, namun apa daya Dito di kuasai oleh sisi egois untuk tidak berdekatan dengan Bunga. Dito selalu berfikir jika ibu tiri tidak akan sebaik ibu kandung.
"Nggak apa-apa," kata Bunga seraya menyentuh dada bidang Anta, menahan anaknya agar tidak bertindak lebih jauh lagi pada Dito.
Anta memincingkan matanya tajam. Di tatap tubuh Dito yang kian lama hilang saat menuruni tangga.
"Bunda sadar nggak, sih? Semakin hari sikap mereka semakin seenaknya sama kita. Anta sadar, Anta terlahir dari rahim wanita yang sederhana. Tapi ayah nggak sadar kalo wanita sederhana itu istrinya," kata Anta sambil menatap wajah teduh bundanya. "Seharusnya Anta emang nggak pernah lahir, biar bunda bisa bahagia."
"Anta!" bentak Bunga. "Bunda nggak pernah ngajarin kamu menyesal setelah lahir. Tapi kamu sendiri yang nyesel udah bunda lahirin?"
"Anta nggak nyesel bunda," suara Anta melemah. Ia sangat tidak bisa melihat bundanya emosi, apalagi sampai membentaknya. "Mungkin kalo Anta terlahir di atas keluarga sederhana tapi penuh kasih sayang, Anta nggak bakal ngalamin rasa sakit ini bunda."
"Jangan bikin bunda banyak pikiran. Ayo makan," kata Bunga lalu menarik tangan Anta untuk turun. Bunga tidak ingin mendengar kesaksian berapa sakitnya Anta selama ini, Bunga tidak ingin mendengar Anta terus saja mengeluh. Bunga hanya ingin melihat Anta hidup lebih kuat lagi, jika tidak Bunga yang akan terlihat lemah di sini.
"Lama banget! Emang kamu ngapain aja di kamar anak mu yang manja itu?" tanya Tirta sedikit berteriak.
Anta mengabaikan ucapan ayahnya, ia lebih memilih untuk duduk bergabung dengan ayah dan abang nya yang mungkin sudah bersiap untuk makan sejak tadi.
"Nggak ngapa-ngapain, mas," jawab Bunga sembari menyendok nasi dan lauk ke atas piring suaminya. Setelah piring suaminya penuh, Bunga menyendok nasi dan lauk untuk Dito.
Lihat? Sudah sempurna bukan peran Bunga sebagai ibu tiri? Melayani makan, membersihkan rumah sendirian tanpa pembantu, bahkan turut membersihkan kamar Dito tanpa anak itu minta.
"Eh, eh! Kalian makannya entar. Setelah saya sama Dito selesai makan," kata Tirta membuat Anta yang baru saja mengarahkan sesuap nasi sontak berhenti.
Anta menghembuskan nafasnya kasar. Ia berusaha menebalkan telinganya Anta tetap memakan sesuap nasi yang tadi sempat tertunda membuat Tirta murka.
"Saya bilang nanti! Punya telinga atau tidak?!" teriaknya sambil memukul meja makan.
"Jadi gak selera makan sana anak nggak berpendidikan," kata Dito menimpali. Dito sedikit menjauhkan kursinya agar terlihat benar-benar tidak selera makan, padahal Dito berniat agar Anta mendapatkan omelan dari ayahnya.
"Sebenarnya Anta sama bunda itu bagian dari keluarga kalian bukan, sih? Kok Anta rasa kalian nggak pernah nganggap Anta sama bunda keluarga, ya?" kata Anta dengan tenangnya. Ketenangan di diri Anta yang membuat Tirta dan Dito emosi karena tidak pernah mendapatkan sisi amarah dari Anta. Anaknya terlalu tenang untuk di datangkan badai.
"Keluarga? Gimana kalian bisa di sebut keluarga kalo tega bunuh darah daging saya? Keturunan saya kalian bunuh!"
"Cuma karena salah paham, ayah sampe tega nyakitin aku sama bunda? Kalo Rehan tau ayah kaya gini Rehan juga bakal sedih!"
Anta ikut berdiri kala ayahnya berdiri. "Jangan pernah bawa-bawa Rehan! Dia anak baik nggak kaya kamu!" teriak Tirta marah.
"Udah mas, udah!" lerai Bunga menahan lengan suaminya, namun di tepis oleh Tirta.
"Jangan belain anak kurang ajar mu itu!" Tirta menarik tangan Bunga untuk naik ke atas. Tirta tidak akan tinggal diam sebelum seluruh emosinya ia keluarkan.
Anta ikut berlari menyusul Tirta yang menarik Bunga paksa. Sedangkan di meja makan Dito sedang menikmati adegan kekerasan yang berlangsung sambil menyantap makanan lezat yang di buat Oleh ibu tiri nya.
"Ayah! Ayah nggak bisa nyakitin bunda terus!" teriak Anta menahan tangan ayahnya agar melepas cengkraman pada bundanya.
"Ayah boleh sakitin Anta tapi jangan pernah sakitin bunda! Sadar ayah! Bunda itu istri ayah!" bentak Anta memeluk bundanya dari samping seakan-akan siap menerima semua rasa sakit yang bundanya rasakan.
Dengan geram Tirta melepas ikat pinggang nya. Memecut kaki Anta yang hanya di tutupi dengan celana pendek selutut. Anta tidak mengeluh, tidak merintis atau merasakan kesakitan lagi. Baginya ini adalah makanan sehari-harinya, rasa sakit dan kegelapan memang sudah melekat dalam diri Anta sebagai teman hidupnya.
"Cukup mas! Kalo Mama liat kaki Anta banyak luka kamu juga yang kena masalah," bentak Bunga tidak tahan mendengar suara pecutan yang sedari tadi menjadi nada yang memenuhi gendang telinganya.
Suara pecutan berhenti. Anta masih memejamkan matanya sambil memeluk bundanya. Entah tubuh Anta yang terlalu kuat atau memang tubuhnya sudah mati rasa, kaki bekas pecutanya sudah lebam dan segaris mengeluarkan darah namun rasa sakit yang Anta dapat sangat sedikit, tidak sebanding dengan luka yang ia dapat.
"Anta," lirih bundanya. Di bingkai wajah putranya dengan air mata yang masih menghiasi wajahnya.
"Jangan nangis bunda," kata Anta pelan seraya menyeka air mata mengalir di pipi bundanya.
Bunga menggeleng. Tidak tahan melihat kaki anaknya yang lebam dan berdarah.
"Anta kuat selagi bunda masih senyum buat Anta," kata Anta membuat bundanya tersenyum meski terpaksa.
-----
TO BE CONTINUE...
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari ✔
Teen Fiction[ Januari Arjanta ] Orang bilang awal Januari itu adalah awal dari segalanya, begitu juga menurut dia. Januari adalah awal dari kebagian dan awal untuk melepas semua beban yang selama ini dia pikul berat di tahun lalu, lebih tepatnya akhir Desember...