Januari

203 67 0
                                    

—Januari Arjanta

.
.
.
.
.

Tubuhmu lelah, pikiranmu berkecamuk. Istirahat, besok dunia akan menguras tenagamu lebih banyak lagi.

Anta bersenandung ria sambil melepas helm full face-nya. Ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya malam ini. Iya ke rumahnya, rumah yang menjadi neraka baginya. Ia tidak mengerti kenapa laju motornya membawa dirinya sampai ke depan rumah yang berkali-kali memberi luka padanya. Anta tahu ini bukan hal yang baik mengingat kejadian pilu tadi pagi, mungkin jika ia kembali malam ini ayahnya akan memberi pukulan lagi. Tapi tidak apa, Anta hanya ingin melihat senyum ibunya malam ini.

Langkah kakinya terhenti kala melihat dua koper hitam yang ada di depan pintu. Tangannya terulur mengambil sticy note yang tertempel di salah satu gagang koper.

"Kamu udah nggak punya tempat di rumah ini. Walaupun kamu kembali kamu bakal tersakiti lagi. Jangan pernah kembali sampai ayah sendiri yang meminta mu pulang. Sayang, kamu kuat. Jangan pulang ke rumah Omma mu lebih baik kamu ke Panti Asuhan Senjana, bunda akan nemuin kamu setiap hari di sana. Satu kecupan buat Anta dari bunda."

Anta memejamkan matanya. Hembusan nafasnya kembali terasa sangat berat. Lagi-lagi dirinya harus di asingkan hanya karena suatu kecelakaan yang benar-benar bukan dia pelakunya. Anta membuka salah satu koper hitam yang terasa paling berat, setelah ia buka ternyata ada laptopnya di sana. Ia hanya membutuhkan laptop untuk belajar, sebentar lagi ujian akhir semester.

Di raba saku celananya, ia mengambil ponsel dan segera menghubungi teman-temannya. Dalam hal ini, Anta hanya bisa mengandalkan temannya terutama Hans.

"Bisa ke rumah gue ngambil motor, lo?" kata Anta saat sambungan telepon sudah diterima.

"Berang-berang naik pesawat! Nyungsep kali!" jawab Hans dari seberang sana lalu mematikan sambungan telepon mereka. Anta tahu kode tidak masuk akal yang Hans ucap tadi adalah instruksi jika temannya itu akan segera berangkat ke lokasi.

Anta kembalikan tubuhnya sambil menyeret koper yang berisi beberapa baju dan laptopnya. Tubuhnya stagnan saat suara paling lembut yang pernah ia dengar memanggil namanya.

"Anta ...," lirih bundanya sambil memeluk Anta.

"Bunda nggak bisa apa-apa," kata bundanya terisak di dalam pelukan Anta.

Anta membingkai pipi bundanya dengan kedua tangan. Di seka air mata yang keluar dari mata bundanya.

"Nggak apa-apa, Anta kuat."

Tidak sengaja matanya bertatapan dengan mata bundanya namun ada yang berbeda dari bentuk mata bundanya. Sedikit bengkak dan membiru di pelipis sebelah kanan.

"Bunda di apain lagi sama ayah?" tanya Anta.

Gelengan kepala Bunga tidak membuat Anta percaya bahwa wanita di depannya ini baik-baik saja.

"Jangan bohong bunda!" Anta mempertegas nada bicaranya.

"Ditampar ayahmu sampe kebentur kursi rumah sakit."

Anta jalan melewati bundanya begitu saja. Ia masuk ke dalam rumah sambil meneriaki nama ayahnya. Ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi bisa-bisa bundanya mati karena di siksa ayahnya terus menerus.

"Ayah!" teriak Anta di tengah-tengah ruang tamu.

Biarkan saja dirinya di anggap anak tidak berpendidikan. Ia sudah terlalu sabar menghadapi sikap buruk ayahnya bukan hanya pada dirinya tapi juga pada bundanya. Di asingkan bahkan sekarang ia di usir, bukan hal merugikan bagi Anta sebenarnya jika mau ia bisa pulang ke rumah omma dan eyangnya.

Jika ia tidak maju sekarang mau kapan lagi? Mau sampai ayahnya merasa merdeka karena sudah menyiksanya? Anta sudah di usir, jadi Anta berani mengambil langkah lebih maju. Setelah ini ia juga akan di tendang oleh ayahnya.

"Ayah!" teriak Anta sekali lagi.

Tidak lama setelah itu Tirta turun bersama anak kesayangannya yang terlihat baik-baik saja setelah keluar dari rumah sakit akibat alergi.

"Apa?! Tidak terima saya usir?" tanya Tirta jalan mendekati Anta.

Nafas Anta memburu. Dalam hatinya ia sangat tidak ingin memperpanjang masalah ini, biarkan saja ia yang tersakiti tapi jangan keluarganya. Tapi emosi sudah lebih dulu menguasai tubuh Anta di banding rasa bersabarnya.

"Anta nggak pernah nyesel ayah sakitin, berkali-kali ayah bikin prestasi Anta ancur, bahkan sampe ayah ngusir pun Anta nggak pernah perotes." Anta berkata di depan ayahnya. Jarak mereka hanya sekitar tiga jengkal dari ayahnya.

"Jujur Anta nggak pernah ada niatan buat durhaka sama ayah. Tapi setelah ngeliat kelakuan ayah semakin buruk Anta muak! Muak sama semua sikap egois ayah!" ucap Anta cepat tidak memberikan ruang sedikitpun pada ayahnya untuk berbicara.

Di tunjuk bundanya yang sedang menangis di belakang Anta. "Talak bunda sekarang! Ceraikan bunda, Yah!"

Tirta terkekeh menertawai emosi anak kecil di depannya ini. Ia menepuk-nepuk bahu Anta dengan senyum merendahkan seperti biasanya.

"Kamu bisa apa tanpa saya?"

"Bisa segalanya! Yang paling penting bisa bahagia! Karena kebahagiaan tidak pernah tumbuh di dalam rumah besar tapi seperti neraka!"

Tangan yang semula menepuk bahu Anta kini sudah melayang menampar pipi kiri Anta hingga kepala anak laki-laki itu menoleh ke samping. Setelah menampar Anta, Tirta tidak melanjutkan aksinya. Ia berjalan mendekati Bunga dan menarik tangan wanita itu dengan kasar.

Anta ingin membela namun tubuhnya lebih dulu di tahan oleh Dito. Anta meronta bahkan memukul perut Dito. Pukulannya di balas dengan pukulan. Anta terlambat ayahnya sudah menarik bundanya naik menginjakkan kaki ke anak tangga sedangkan dirinya masih bergelut dengan Dito.

"Pergi Anta! Pergi!" teriak bundanya dari atas.

Pertahanan Anta runtuh mendengar teriakan bundanya. Tubuhnya merosot ke bawah seperti meminta ampun pada Dito padahal Anta sama sekali tidak pernah merasa kalah dari Dito, ia mudah kalah saat mendengar teriakan lirih bundanya.

Anta berdiri. Menatap Dito dengan tajam. Ia memutar tubuhnya berjalan dengan gontai keluar dari rumah yang penuh kenangan buruk untuknya.

Di depan gerbang sudah ada Hans yang menyenderkan tubuhnya. Saat melihat Anta dengan keadaan yang tidak baik-baik saja Hans langsung berlari mendekati temannya itu.

"Kenapa lagi?" tanya Hans.

"Gue nggak apa-apa. Nih kunci motor lo, makasih banyak," kata Anta menyerahkan kunci motor yang ia bawa tadi pada pemiliknya. "Lo bawa mobil? Gue nitip koper besok pagi gue ke rumah lo."

"Iya, gue bawa mobil sama Rohman," jawab Hans. "Lo mau kemana?"

"Kemanapun yang penting tenang," jawab Anta sambil menyeret koper miliknya untuk di masukan ke dalam mobil milik Hans.

"Makasih banyak udah nolongin gue. Lo bakalan jadi orang pertama yang nikmatin keberhasilan gue setelah bunda," kata Anta seraya menepuk bahu Hans.

"Gue tunggu bukti dari ucapan lo," jawab Hans.

----

To Be Continue...

Januari ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang