Tuhan sudah memberikan jalan. Tugas kita hanya berjalan di atas jalannya yang selalu menuntun kita pada kebaikan.
Setelah mengantar bundanya pulang Anta memilih untuk menenangkan pikirannya di rumah Hans. Letak rumah Hans tidak begitu jauh dari rumah ommanya, jika Anta enggan untuk pulang kerumah mungkin ia lebih memilih untuk tidur di rumah ommanya. Kedatangannya di manapun selalu di sambut dengan hangat, entah di rumah ommanya, rumah para temannya, dan lingkungan sekitar. Cuma rumahnya yang seperti mau tidak mau menyambut kepulangan dirinya.Pandangannya menatap langit malam Kota Bekasi. Terangnya perumahan yang terlihat dari lantai dua, gedung tinggi yang hampir sudah menggelap dan jalan raya yang masih padat dengan kendaraan menjadi tontonannya malam ini.
Terkadang Anta berfikir untuk menjadi hujan yang tidak pernah bosan untuk memberi kehidupan meski akhirnya harus berkali-kali jatuh. Ia juga ingin mengalir layaknya genangan air hujan yang mengumpul di tanah yang mengikuti jalur alirannya. Menerima masalah yang ada, menerima semua rasa sakit ini dengan lapang dada. Ia yakin di balik rasa sakit ini ada hal istimewa yang terpendam.
"Kenapa lagi?" suara dari belakangnya memecahkan semua lamunan tentang kehidupan yang sakit ini.
Anta mengerjapkan matanya kaget. Ia menggelengkan kepalanya sambil tersenyum ke arah Hans yang baru saja datang dengan dua gelas teh hangat.
"Halah bohong," kata Hans sambil duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya. "Kalo bengong pasti ada apa-apanya. Sini cerita."
Hans adalah tipe laki-laki tegas jika sudah terlibat dalam masalah yang serius. Ia hanya sekali berkata dan tidak akan mengulangi perkataannya lagi jika menurutnya itu tidak penting. Hans juga tipikal orang yang tidak memaksakan kehendak. Jika ia meminta orang lain menceritakan masalahnya pada Hans, namun orang itu tidak berkenan untuk bercerita Hans tidak akan memaksa, rasa penasaran di dalam dirinya sangat kecil. Mudah untuknya tidak ingin mengetahui kehidupan orang lain, ia hanya berfokus pada kehidupannya sendiri.
"Gue nggak bilang lo juga udah tau akar permasalahnya apa," jawab Anta duduk di kursi samping Hans. Tanpa perlu di persilahkan atau di suguhkan oleh tuan rumah Anta langsung menyesap teh hangat yang Hans bawa.
"Sampe kapan mau terjebak di lingkaran hitam itu? Gue yakin lo juga cape. Gue liat luka kemarin aja belum sembuh, sekarang udah dapet luka baru sampe berdarah pula."
Hans menyesap teh miliknya. "Lo cuma punya dua pilihan yang keduanya bakal ngerugiin lo. Pertama, kalo lo keluar dari kehidupan Tuan Tirta dia bakal terus ngejar lo dan bunda lo sampe dapat, lo tau apa yang bakal orang kaya lakukan buat menuhin semua kemauannya."
Dilirik Anta yang sudah menyenderkan kepalanya di tembok sambil memejamkan mata.
"Kedua, lo tetap pertahan dengan semua rasa sakit. Tapi poin pentingnya lo bakal temuin setitik cahaya yang bikin pribadi lo lebih kuat dan terbiasa ngejalanin ini sampe lo mampu buat ngebungkam dan membuktikan bahwa ini bukan kesalahan lo."
"Bertahan, Hans. Gue bakal bertahan sampai Tuhan ngasih jalan lurus tanpa cobaan buat gue," jawab Anta mantap.
Sekali lagi ini adalah hidupnya, ini adalah kepunyaannya bukan kepunyaan orang lain. Hidup memang terkadang membutuhkan saran dari orang lain, namun tidak boleh mempercayai saran dari orang sepenuhnya karena kegagalan bisa berasal karena kita terlalu banyak mendengarkan ucapan orang lain.
"Makasih sarannya, gue pamit," kata Anta seraya berdiri. "Sekali lagi makasih karena udah siap dengerin curhatan gue yang itu-itu aja."
"Santai. Kaya sama siapa aja lo." Hans ikut berdiri.
Di antar Anta hingga depan rumahnya. Hari sudah hampir malam padahal Hans tidak bisa membiarkan temannya pulang selarut ini dengan pikiran yang kacau. Tapi mau bagaimana lagi Hans juga tidak bisa melarang Anta untuk pulang kerumahnya sendiri.
Anta mengandari motor di tengah-tengah jalan raya yang hampir sepi. Di temani dengan hembusan angin yang ikut mengantarnya pulang. Udara dingin serasa menggigit tukang rusuknya, beruntung Anta menggunakan hoodie hitam kesayangannya.
Pandemi masih mewabah. Entah kapan akan berakhir. Seharusnya Anta sudah ada di rumahnya bukan ada di jalan seperti ini, ia yakin tidak lama lagi akan ada patroli untuk membubarkan kerumunan karena sudah malam. Membubarkan para remaja bahkan orang tua yang masih keras kepala dan berkerumun meski sudah malam seperti ini.
Lampu jarak jauhnya menyorot ke depan untuk menerangi jalan. Perlahan Anta meminggirkan motornya saat melihat ada seseorang uang sedang mendorong motor. Selagi bisa membantu kenapa tidak?
"Mati, nih?" tanya Anta dari belakang. Ia mengendarai motornya sangat pelan.
"Udah tau di dorong pasti mati, lah!" jawab gadis berjaket biru di depannya.
Gadis itu menstandar motor matic nya di pinggir jalan. Kakinya terasa sangat pegal, urat-uratnya sudah menangis minta istirahat. Namun nasib buruk sedang berpihak padanya, bensin motornya habis padahal pom pensin masih lumayan jauh.
"H-hilma?" tanya Anta memastikan jika orang di depannya ini adalah Hilma, pelayan di cafe langganan ommanya.
"Lo siapa, sih? Jangan bikin gue mikir, deh!" kata Hilma putus asa. Ia sudah lelah, rasanya sangat mengesalkan. Apapun yang ia temui akan ia maki jika sudah lelah seperti ini.
"Naik ke motor lo, biar gue stut-in motor lo."
"Emang bisa?"
"Udah jangan banyak tanya. Mau kena patroli corona emang?"
Dengan cepat Hilma menggunakan helm nya kembali. Ia duduk di atas jok motornya, sedetik kemudian motor yang yang sudah ia naiki terasa berjalan. Dengan tangan yang kaku Hilma mengarahkan stang motor agar tetap menjaga keseimbangannya.
"Yang bener, mau nyusruk?" teriak Anta dari belakang.
Lima menit sudah berlalu akhirnya mereka menemukan warung yang menjual bensin eceran. Nasib baik Hilma bertemu dengan orang sebaik Anta. Di saat ia membutuhkan bantuan, Tuhan mengirimkan Anta sebagai penolongnya.
Anta ikut turun dan membeli minum untuk dirinya dan Hilma. Kaki kirinya sedikit pegal akibat men-stut motor Hilma, tapi tidak apa kapan lagi ia bisa melihat orang yang ia cari sejak tadi pagi?
"Makasih," kata Hilma menerima minuman yang di berikan oleh Anta. "Nggak tau lagi gimana nasib gue kalo tadi nggak ada lo."
"Nggak ada gue tapi ada Allah, 'kan? Lo nggak pernah sendiri selama lo masih punya Tuhan yang bersemayam di hati lo."
Hilma mengangguki ucapan Anta. "Hm ... lo tau nama gue, tapi gue nggak tau nama lo. Nama lo siapa?" tanya Hilma seraya mengulurkan tangan kanan.
Dengan senang hati Anta menerima uluran tangan setebut. "Januari Arjanta."
-----
TO BE CONTINUE...
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari ✔
Teen Fiction[ Januari Arjanta ] Orang bilang awal Januari itu adalah awal dari segalanya, begitu juga menurut dia. Januari adalah awal dari kebagian dan awal untuk melepas semua beban yang selama ini dia pikul berat di tahun lalu, lebih tepatnya akhir Desember...