—Hilma Naffida
.
.
.
.
.Kamu hanya perlu banyak berdoa. Hasilnya pasrahkan semuanya pada Tuhan Yang Maha Baik.
Rintik hujan kembali membasahi bumi Bekasi. Gerimis kembali turun bersamaan rasa sabar Anta yang semakin larut bersama rintik nya sang hujan. Tidak memperdulikan tubuhnya yang lepek Anta terus saja menancapkan gas motornya untuk berkeliling kota yang mendapat julukan Kota Patriot karena pada daerah ini sempat menjadi medan pertempuran yang membuat para penjajah gentar di medan perang, selepas Indonesia merdeka pada tahun 1945.Laju ban motor membawa dirinya hingga daerah Tambun. Jam menunjukan pukul sepuluh malam WIB, jalan raya daerah Tambun sudah sangat sepi. Sorot lampu yang ada di pinggir jalan menjadi temannya malam ini.
Anta menepikan motornya tepat di depan aera Gedung Juang Bekasi. Ia duduk di samping pelataran parkir, padahal Anta berniat untuk duduk di dekat air mancur namun karena jam sudah malam gerbang masuk sudah di tutup.
Di hembuskan nafasnya kasar. Cahaya temaram, gerimis, dan gelap sudah sangat menyatu padanya. Bahkan langit sangat mendukung untuk Anta menangis malam ini, namun Anta bukanlah yang dulu setiap ada hujan menangis dan ingin menyerah. Sekarang Anta sudah berubah, masalah yang datang menjadikan dirinya kuat karena pada dasarnya pribadi yang kuat tercipta karena masalah yang kuat juga.
"Dari Gedung Juang aku belajar bahwa bersabar dan bergerak akan membuat penjajah gentar. Jangan pernah mundur meski sudah berkali-kali gagal."
"Dulu para pejuang bergerak untuk memerdekakan bangsa Indonesia. Sekarang para remaja berjuang untuk memajukan bangsa bukan sekedar berjuang untuk melanjutkan hidup yang penuh derita."
Dalam hitungan detik gerimis berubah menjadi hujan deras. Kedatangan hujan yang tiba-tiba deras membuat Anta kaget dan segera mencari tempat untuk berteduh sebab pohon berdaun rimbun saja tidak cukup untuk menghalangi hujan yang turun.
"Harus berjuang sungguh-sungguh ini, mah. Udah di dukung sama hujan," kata Anta sambil memeluk dirinya sendiri.
"Bu teh hangat satu," ucap Anta sembari duduk. Beruntung tidak jauh dari pelataran parkir ada warung kecil yang cukup untuknya berteduh.
"Sabar airnya lagi di masak mas," jawab ibu warung tersebut.
Ponselnya berdering. Anta segara meraba saku celananya untuk mengambil benda yang sudah bergetar itu.
"Dimana?" suara dari seberang sana terdengar.
"Di ... jauh tapi nggak pake helm cuma pake masker," jawab Anta dengan kekehan.
"Heleh. Lo dimana? Serius, Ta."
"Samping Gedung Juang Bekasi lagi minum teh anget tapi tehnya belum jadi."
"Buset minum teh anget aja ampe ke Tambun. Anta beda dari yang lain!"
Anta tertawa mendengar ucapan Bima.
"Ngomong-ngomong gue mau minjem catetan yang minggu kemaren dong," kata Bima.
"Laptop gue di rumah Hans ambil aja," jawab Anta.
"Paling peka, deh, jadi makin cinta." Tanpa mengucapkan terima kasih atau basa-basi Bima langsung mematikan sambungan telepon mereka secara sepihak.
"Orang flashdisk-nya ada di dompet." Monolog Anta sambil terkekeh.
-----
Laju motornya kembali membawa dirinya ke Bekasi. Hari sudah hampir tengah malam, Anta membutuhkan tempat untuk beristirahat. Motornya berhenti tepat di depan Panti Asuhan Senjana tempat bermalamnya rekomendasian dari bundanya. Bagaimana Anta bisa menolak jika sudah perintah bundanya?
"Assalamualaikum. Permisi pak," kata Anta pada satpam yang sudah tertidur di dalam pos satpam.
Mendengar suara Anta satpam tersebut terganggu tidurnya dan mulai membuka Mata.
"Eh, iya. Waalaikumsalam ada apa, mas?" jawab satpam tersebut sambil menggosok matanya.
"Bisa ketemu sama ibu panti?"
"Wah, mas datengnya ke maleman ibu panti udah tidur pasti. Dateng besok pagi aja mas."
Anta menggelengkan kepalanya. "Padahal saya mau numpang tidur pak besok pagi juga udah pergi lag," kata Anta.
"Numpang tidur?" ulang Pak Satpam. "Kalo mau tidur di sini aja sama saya, mas. Pasti dikit lagi ada patroli yang keliling."
"Boleh pak?"
"Iya mas boleh. Sebentar!" Satpam tersebut membukakan gerbang masuk membiarkan Anta masuk bersama motor ninja hitamnya.
Anta duduk di kursi yang ada di depan pos satpam di temani satpam tentunya. "Nama bapa siapa?"
"Panggil aja saya Keling mas. Nama mas-nya siapa?"
"Anta," jawab Anta.
"Udah makan?" tanya Pak Keling.
Anta menggeleng. Jangankan untuk makan, uang saja ia tidak punya. Uangnya sudah habis untuk beli teh hangat dan bensin, di dompetnya hanya ada uang untuk membayar spp sekolah bulan ini.
Pak Keling masuk ke dalam pos satpam, ia kembali membawa sekotak makanan. Kotak makanan tersebut di serahkan pada Anta.
"Makan, nih. Jatah makan malam saya, saya mah udah makan di rumah tadi sebelum ke sini."
"Nggak usah pak, buat bapak aja."
"Yeh, jangan sungkan." Pak Keling meraih tangan kanan Anta untuk menerima makanan darinya. Dari pada tidak dimakan dan berakhir jadi basi lebih baik di makan orang lain bukan?
"Makasih banyak pak," kata Anta sambil terkekeh tidak enak. Mau di tolak juga gimana disamping ia tidak enak mengambil hak orang lain, Anta juga tidak boleh menolak rezeki yang di berikan Tuhan.
Suara dering ponsel terdengar. Tapi bukan ponsel Anta, pasti ponsel Pak Keling.
"Bentar mas, Istri saya pasti nelepon." Pak Keling masuk ke dalam pos satpam. Sedetik kemudian Anta mendengar percakapan Pak Keling dengan istrinya.
Dalam hati Anta tidak ingin mendengar pembicaraan orang lain karena dianggap tidak sopan. Mau dihindari juga tidak bisa, suara Pak Keling sudah masuk ke dalam gendang telinganya dengan sendirinya.
"Iya, Mah pinjem dulu sama ibu nanti gajian di ganti."
Setidaknya itu percakapan yang Anta dengar. Setelah itu Anta lebih memilih untuk melanjutkan makannya dan tidak memfokuskan pendengarannya pada suara Pak Keling.
"Ternyata masih banyak orang baik di luar sana. Hanya saja beribu-ribu kebaikan orang baik sering tertutup akibat satu kejahatan orang jahat," lirih Anta disela makannya.
Pak Keling keluar dengan raut wajah masam, tidak bersemangat seperti wajah sebelumnya membuat Anta sedikit merasa tidak enak berada di dekat Pak Keling.
"Haduh pusing banget saya, mas." Adu Pak Keling. Di usap wajahnya kasar. "Anak saya sakit sedangkan saya dan istri nggak pegang duit sama sekali. Minjem sama tetangga, sih, dikasih cuma kalo sama minjem duit ke dia pasti besoknya saya denger cerita kalo saya udah nggak mampu ngehidupin anak dan istri saya."
Pak Keling menghembuskan nafasnya kasar. "Dia yang kasih pinjem, dia juga yang ngomongin saya."
"Pak Keling emang butuh berapa?"
"Tiga ratus ribu, mas."
Anta merogoh saku celananya. Di keluarkan uang empat lembar seratus ribu lalu di berikan pada Pak Keling.
"Tolong terima Pak."
- - - - -
To Be Continue...
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari ✔
Teen Fiction[ Januari Arjanta ] Orang bilang awal Januari itu adalah awal dari segalanya, begitu juga menurut dia. Januari adalah awal dari kebagian dan awal untuk melepas semua beban yang selama ini dia pikul berat di tahun lalu, lebih tepatnya akhir Desember...