6. Seandainya

67 12 2
                                    

"Ari?" Seseorang berseru seraya menepuk pundak Ari dengan pelan. Secara otomatis Ari langsung menghadap seorang gadis yang berdiri disampingnya itu. Ari mengerutkan dahinya.

Kayak pernah kenal, tapi siapa ya? Batin Ari.

"Hey?" Gadis itu melambaikan telapak tangannya ke depan wajah Ari. "This is me, Laura!"

Pernyataan gadis itu sukses membuat Ari membulatkan matanya sempurna.

X
O
X
O

Di belahan bumi lain, Angga melajukan mobilnya menuju Rumah Sakit Gempita, tempat Aisyah dirawat. Hari sudah semakin gelap dengan terdengarnya suara adzan yang bersahutan. Angga mempercepat laju mobilnya guna mempersingkat waktu untuk mencapai tempat tujuannya.

Sesampainya di rumah sakit, Angga membayar parkir, lalu menghentikan mobilnya dengan rapi. Ia langsung melangkah memasuki gedung bertingkat tiga itu dan tak lupa juga dengan membawa sekantong plastik makanan ditangannya.

Cklek!

Suara pintu dibuka terdengar jelas oleh pendengaran Aisyah. Aisyah merubah posisi tidurnya menjadi sedikit terduduk dengan bersandar pada bantal di punggungnya. Angga tersenyum melihat Aisyah yang sepertinya memandang kantong plastik yang dia bawa. Setelah menutup pintu, Angga berjalan menghampiri Aisyah.

"Kamu kok bangun? Terganggu, ya?" Angga meletakkan bawaannya ke atas nakas. Ia meraih kursi yang ada di sebelah brankar Aisyah.

"Nggak ... itu ара, Kak?" tanya Aisyah.

"Oh, ini, tadi Kakak belikan bubur sayur. Kamu makan, ya?" Baru saja Angga akan mengeluarkan bubur sayur itu dari kantong plastik, tiba-tiba Aisyah mencekal tangan kekarnya. Angga memandang Aisyah dengan heran.

"Aku nggak mau makan bubur," ucap Aisyah. Suaranya sedikit gemetar, takut-takut jika Angga marah karena penolakannya.

"Terus kamu mau makan a—"

"Aku menyuruh Ari buat belikan rendang padang tadi," potong Aisyah cepat. Dia sudah memprediksi apa yang akan Angga katakan. Angga mendengus kesal mendengar ucapan Aisyah. Bahkan suhu badan Aisyah belum sepenuhnya turun karena kemarin pagi badan Aisyah panas dan kepalanya pusing. Oleh karena itu, Angga harus mengatur pola makan Aisyah sesuai dengan aturan dari Dokter.

"Kamu udah enakan?" tanya Angga sembari melipat tangannya di samping Aisyah. Aisyah menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaan Angga.

"Kakak rasa.... itu bukan makanan yang buruk juga," kata Angga kemudian. Aisyah tersenyum lega mendapati Angga yang tidak marah karena ia menginginkan makanan yang seharusnya belum boleh dia makan.

"Kakak nggak marah, kan?" Aisyah memandang wajah teduh Angga. Tangan Angga bergerak mengelus kepala Aisyah.

"Buat apa Kakak marah? Toh, kan kalau kamu senang Kakak bisa apa selain juga merasa senang?" Perkataan Angga mampu membuat Aisyah luluh. Buktinya, Aisyah selalu tersenyum setiap mendengar kalimat positif yang keluar dari mulut Angga.

"Kakak baik." Aisyah meremas tangan Angga yang masih berada di kepalanya. Angga tersenyum miris mendengar pernyataan Aisyah barusan. Sebelumnya dia tak pernah mengira jika Aisyah akan hadir di dalam hari-harinya. Seandainya Aisyah adalah adik kandungnya sendiri, dia pasti akan sangat senang dan bahagia memiliki seorang adik perempuan di hidupnya.

Entah sampai kapan Aisyah bertahan di rumah mereka nanti. Jika suatu saat nanti, ketika kebenaran akan terungkap, Angga siap melakukan apapun agar Aisyah pergi darinya.

[]

LOVE and SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang